Langsung ke konten utama

Hidup di Pinggiran vs Tengah Kota. Mana yang Lebih Nyaman?



Baru-baru ini, saya pindahan dari tempat lama ke lokasi pemukiman baru. Suasananya berbeda 180°. Jika tempat lama berada di pinggiran kota yang dikelilingi pepohonan, maka daerah baru ini terletak di tengah kota. Padat, tapi sekarang mau ke mana saja sudah dekat.


Meskipun demikian, tetap ada plus minus pada setiap lokasi pemukiman. Walaupun dikelilingi fasilitas publik yang lengkap, tapi di daerah ramai sebaiknya berhati-hati mengurus kantong. Bagaimana tidak, mulai dari pasar, minimarket, aneka penjual makanan, hingga mal berdiri gagah di pinggir jalan. Lokasi nongkrong seperti ini dapat membuat pandangan mata semakin silau.


Kalau ceroboh atau lalai menyusun anggaran, dijamin kantong semakin menipis dan badan pun ikut kempis.  Meski menetap di pinggiran kota bukan berarti tidak bisa boros, hanya saja pilihannya lebih minim. Beda dengan yang di tengah kota. Jalan sedikit dari rumah, langsung ketemu tempat-tempat yang pas untuk cuci mata. Intinya, mau tinggal di pinggiran atau tengah kota tetap ada tantangan tersendiri.

Kiri : Dulu di pinggiran kota
Kanan : Sekarang di tengah kota

Selain pengendalian anggaran yang tepat, apalagi perbedaan tinggal di pinggiran dan tengah kota? Berikut ulasannya.


Plus Minus Tinggal di Pinggiran atau Tengah Kota

Selalu ada kekurangan dan kelebihan dalam setiap sisi kehidupan. Demikian juga halnya dengan tinggal di pinggiran atau pusat kota. Apa saja faktor-faktor tersebut?


Suasana dan Lingkungan

Sulit dipungkiri kalau tinggal di pinggiran kota memang lebih adem, tenang, serta berudara segar karena dikelilingi pepohonan. Hampir setiap hari cuacanya sejuk seperti suasana liburan di pegunungan. Belum lagi kicauan burung yang sering terdengar. Tempat begini cocok untuk menenangkan pikiran sejenak.


Tetapi, udara dingin bukan berarti bebas kendala. Suhu cenderung lembab dan menusuk hingga ke tulang. Bukan hanya orang, cucian pun ikut terkena dampak. Terkadang, perlu berhari-hari agar pakaian yang dijemur bisa kering, apa lagi jika matahari terus menerus hanya mengintip dari balik awan. Panas terik saja pakaian belum tentu kering digantung seharian, apalagi mendung.

Cuaca dingin dan udara panas

Begitu juga dengan air kamar mandi. Di pinggiran kota, airnya sejuk sekali seperti mata air pegunungan. Menjelang siang hari, sekitar pukul 10 pagi pun air masih dingin, terutama jika hari hujan. Bayangkan jika mandi menjelang malam, suhunya sudah menyaingi es. Kalau enggak kuat, terpaksa memasak air panas hanya untuk mandi.


Berbeda dengan di tengah kota. Pemukiman padat, pepohonan jarang, dan udara cenderung kering. Udaranya panas, meskipun saya tinggal di kota yang berhawa sejuk. Pakaian cepat kering, walau matahari bersinar malu-malu. Mau mandi agak kemalaman juga enggak masalah, asalkan jangan sering-sering. Nanti malah jatuh sakit.


Fasilitas Umum

Jika bermukim di pinggiran kota, biasanya sering malas keluar rumah, apalagi kalau mengandalkan angkutan umum. Selain karena angkot jarang, jarak tempuh juga lebih panjang. Kalau niat enggak kuat dan memang enggak ada urusan yang penting sekali, umumnya lebih suka tetap di rumah.

Di rumah membaca buku vs nongkrong di kafe

Beda dengan tinggal di tengah kota. Sebentar jalan keluar saja sudah ketemu bermacam-macam fasilitas umum, mulai dari kemudahan transportasi, bioskop, pusat perbelanjaan, hingga tempat nongkrong. Tinggal pilih saja. Sekarang yang perlu dipikirkan bagaimana cara mengatur anggarannya. Wkwkwk.


Biaya Hidup

Orang sering bilang kalau biaya hidup, terutama untuk pemukiman, lebih mahal jika berada di tengah kota. Alasannya, lokasi yang strategis. Padahal belum tentu, lho. Kalau sabar mencarinya, ada juga yang ramah di kantong.


Tempat tinggal saya sekarang biayanya cukup terjangkau meskipun berada di tengah kota. Cuma dengan catatan, fasilitasnya sederhana. Enggak masalah, sih, asalkan mampu beradaptasi. Di sekitar lingkungannya, tersedia pemukiman lain dengan beragam harga. Banyak pilihan tempat, baik untuk harga standar mau premium.



Yang sering menyebabkan biaya melonjak adalah kalau sering makan di luar. Gimana enggak, hampir semua jenis makanan tersedia dengan variasi harga. Cara mengatasinya sederhana, sering-seringlah masak di rumah. Selain lebih sehat, kenyang, serta aman pula bagi kantong.


Gaya Hidup dan Aktivitas

Untuk yang bekerja dari rumah, konon tinggal di pinggiran lebih cocok karena tenang. Sementara, menetap di tengah kota suasananya bising dan sulit fokus. Banyaknya hiburan menyebabkan konsentrasi bekerja di rumah mudah teralihkan. Bermukim di tengah kota lebih cocok untuk orang kantoran.


Menurut saya, belum tentu. Kalau memang dasarnya enggak disiplin, tinggal di mana pun tetap bermasalah. Yang penting tutup pintu dan konsisten mengerjakan tugas sampai selesai. Memang agak berat karena pemandangan kiri kanan cukup menarik. Perlu kemauan kuat agar tujuannya tercapai.

Antara ketenangan dan kebisingan

Cuma, kalau perlu sesuatu di tengah kota, cepat dan mudah memperolehnya. Dekat mau ke mana pun. Beda dengan tinggal di pinggiran, seperti yang sudah saya tulis di atas. Kalau harus keluar rumah malasnya sudah datang duluan. Nah, jika mau serba cepat, memang bermukim di tengah kota lebih menjanjikan.


Tinggal di Pinggiran atau Tengah Kota, Sama Serunya

Memilih bermukim di pinggiran atau tengah kota, menurut saya sama saja. Semua tergantung kita bagaimana menyiasatinya agar hidup tetap nyaman. Apa pun yang dipilih, selalu ada faktor kekurangan dan kelebihan masing-masing.


Sebenarnya, pindahan saja sudah menambah pengalaman seru. Beradaptasi di tempat baru, melihat lebih banyak karakter orang, menemukan tempat-tempat menarik yang selama ini luput dari perhatian, sudah menjadi kesempatan untuk menikmati hiruk-pikuk hidup.


Di mana pun lokasi menetap, yang penting adalah aktivitas kita bisa berjalan lancar, kalau perlu lebih baik dari sebelumnya. Dan terutama, hati tetap tenteram dan bahagia menjalankan kegiatan sehari-hari.


Referensi Ilustrasi :

Canva Free dan Dok. Pribadi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mat...

Ketika Konten Blog Menggeser Sistem Marketing Jadul

Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas  berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya. "Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri. Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu. Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen.  Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin. Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng. Jawaban orang tua ...

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusah...