Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya.
"Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri.
Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu.
Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen. Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin.
Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng.
Jawaban orang tua saya singkat saja. Menurut mereka, produk yang dijual salesman itu sangat terbatas, beda kalau langsung membeli ke toko. Di pertokoan pelanggan bisa memilih sesuai selera, harga dan kantong. Kalau sales cuma ada pilihan di tasnya saja.
Meskipun demikian, sesekali kami pernah membeli produk yang ditawarkan salesman. Itupun jarang dan biasanya karena dagangannya unik dengan harga masuk akal. Kalau biasa-biasa saja, langsung lewat tanpa kesan.
Seiring berjalan waktu, semakin banyak salesman yang datang ke rumah. Produk yang mereka jual tetap terbatas dan kurang bervariasi. Sekarang saya paham alasan orang tua dulu. Memilih di pertokoan langsung memang lebih menyenangkan daripada yang datang ke rumah. Saya pun mulai mengabaikan kedatangan mereka.
Kemudian saya kuliah di Fakultas Ekonomi Manajemen yang banyak membahas tentang penjualan produk. Pada semester akhir, saya mengambil kosentrasi pada Manajemen Pemasaran. Waktu itu sebenarnya ada banyak pilihan, mulai dari Manajemen Keuangan, Personalia, hingga Usaha Kecil. Dari semua jurusan tersebut, saya mantap memilih Manajemen Pemasaran.
Alasannya sederhana saja. Saat berbelanja keperluan di supermarket, saya sering penasaran kenapa sabun A lebih laku dari sabun B? Padahal kalau di suruh memilih, saya lebih suka dengan aroma sabun B. Akan tetapi, mengapa sabun A lebih laku dan dikenal konsumen?
Di kampus, saya belajar tentang strategi pemasaran perusahaan. Produk yang biasa-biasa saja bisa lebih laku asalkan tepat strategi pemasarannya ke konsumen. Tepat di sini termasuk biaya yang tidak sedikit untuk pemasangan iklan di televisi, media cetak, hingga spanduk. Salesman pun merupakan satu strategi pemasaran perusahaan.
Di semester terakhir itu, kami mendapat mata kuliah Salesmanship yang memaparkan tentang pemasaran door to door. Selama ini saya berpikir kalau sales itu hanya perlu berpenampilan rapi dan menarik, sekaligus murah senyum. Pokoknya, sampul luar nomor satu. Namun, semua itu ternyata belum cukup.
Sebelum terjun ke lapangan, mereka di-training menghadapi calon konsumen dengan berbagai karakter. Mereka dididik supaya mahir berkomunikasi dan meyakinkan orang. Para sales juga harus mengenal manfaat dan kelebihan produknya agar calon konsumen percaya dan mau membeli.
Kelihatan mudah, padahal semua pelatihannya perlu waktu dan biaya yang tidak sedikit dari perusahaan. Itu baru pelatihan. Belum lagi respon di lapangan yang kurang bersahabat. Mereka lebih sering di abaikan oleh penghuni rumah. Melelahkan, tapi para sales merupakan ujung tombak pemasaran tradisional (jadul).
Pemasaran Tradisional, dari Pembagian Brosur hingga Iklan Viral
Selain salesman, iklan di media cetak dan elektronik juga menjadi agen pemasaran perusahaan. Kalau sekarang ada konten viral, maka dulu ada iklan viral. Ketika internet masih mengambang di awang-awang, televisi sudah banyak menayangkan iklan viral yang menjadi jargon dan slogan gaul.
Penonton setia televisi generasi 90an mungkin sudah familiar dengan jargon viral seperti Silau, Man, Belum tahu dia, Saya mau yang paling enak! Kalimat-kalimat singkat tersebut bisa mengundang tawa dan menjadi pencair komunitas dan pergaulan.
Demikian berpengaruhnya iklan televisi pada masa itu. Layar kaca menjadi hiburan utama di rumah. Semakin banyak ditonton pemirsa, semakin kuat peluang produk tersebut laku di pasaran. Terutama jika iklannya disiarkan pada jam yang tepat.
Dulu ada istilah prime time, yaitu waktu penayangan program televisi yang ramai penonton. Konon pada waktu prime time, sekitar pukul 20.00 - 22.00 WIB, harga pemasangan iklan bisa melonjak beberapa kali lipat. Namun, iklannya berpeluang lebih dikenal pemirsa.
Pada jam krusial tersebut, remaja puteri dan Ibu-ibu sering menonton sinetron. Sementara, untuk yang kurang tertarik dengan sinetron, ada pilihan film-film Hollywood di stasiun lain. Orang bersantai di depan televisi masing-masing melepas lelah setelah seharian beraktivitas.
Barisan iklannya? Jangan ditanya, lebih panjang dari gerbong rel kereta api. Lagi seru-serunya menyimak acara, penonton hanya bisa mengomel saat program dipotong siaran komersial.
Menunggu iklan berlalu membutuhkan kesabaran ekstra. Bagaimana tidak? Pergilah sejenak ke toilet, setelah itu mampir ke dapur mencari cemilan. Kemudian kembalilah ke layar televisi. Dijamin, iklannya belum selesai. Nah!
Beda iklan televisi, beda pula sistem promosi brosur. Di jalan-jalan kita sering bertemu pria atau wanita yang kerap membagi-bagikan brosur. Kalau beruntung, mereka sekaligus memberikan sampel produk.
Senang mendapat sampel gratis? Tergantung. Kalau produknya cocok, senang-senang saja. Tapi kalau nggak, sampel tersebut hanya tergeletak di meja. Tidak semua orang tertarik dengan produk tertentu. Sistem pemasaran dengan brosur dan sampel pun belum tentu menjamin produk laris.
Ada beragam sistem pemasaran tradisional, termasuk baliho dan spanduk. Belum lagi iklan di majalah dan surat kabar yang saat itu merajai media informasi tanah air. Biayanya pun lumayan.
Biaya yang dikeluarkan untuk pemasaran jadul nggak tanggung-tanggung. Iklan televisi dengan durasi sekitar 30 detik bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta. Tarif tersebut berbeda jika ditayangkan pada jam prime time.
Sedangkan iklan majalah dan surat kabar biasanya bervariasi. Semua tergantung ukuran kolom iklan, termasuk jenis medianya. Semakin populer koran atau majalah, biasanya semakin mahal. Rata-rata harga pemasangan iklan di media cetak berkisar 14 hingga 25 juta.
Dengan biaya demikian belum tentu semua orang atau perusahaan mampu memasang iklan. Siapa yang memiliki dana mencukupi, mereka yang memimpin pasar. Nggak heran kalau ada produk bagus, tapi karena minim biaya pengiklanan maka namanya kurang dikenal.
Bagi content creator, lumayan juga uang segitu. Kalau dihitung-hitung, cukup untuk travelling atau beli gadget terbaru. Saat plesiran, siapa tahu bisa mendapat ide membuat konten. Semakin bervariasi dan menarik kontennya, semakin besar peluang dilirik warganet.
Ribet memang beriklan zaman dulu. Kalau kekurangan dana, pemasaran produk bisa tersendat. Namun, situasi sekarang sudah berbeda. Internet yang telah menyebar hingga ke pelosok negeri, membuat setiap orang mempunyai kesempatan untuk memasarkan produknya sendiri.
Biayanya juga lebih terjangkau daripada pemasangan iklan di media cetak atau elektronik. Nggak perlu sampai membuat kantong bolong apalagi melompong. Dibandrol harga standar, internet rumahan nan kencang sudah dapat dinikmati seluruh penghuninya.
Dengan jaringan internet mumpuni, berpromosi tanpa dibatasi ruang waktu dan jarak bukan hal mustahil lagi. Digital marketing atau pemasaran melalui jejaring internet memungkinkan siapapun menjadi salesman tanpa harus keluar rumah. Berkreasi dengan konten menjadi kunci eksis berpromosi di era digital.
Konten-konten kreatif menjadi nyawa dari digital marketing. Jika punya kemampuan mengutak-atik kata, gambar, atau video, kesempatan berkarir sebagai kreator konten terbuka lebar. Kalau belum? Yuk, belajar mulai sekarang. Jangan sampai ketinggalan.
Utak-atik Kata menjadi Konten Blog
IndiHome untuk Internet Rumah tanpa Batas
Konten Blog dan Masa Depan Digital Marketing
- Gambar diedit oleh Canva
- Niagahoster, 2022, Yuk, Mulai Pakai Digital Marketing, Jakarta, Elex Media Computindo.
- 10 Scientific Reasons People are Wired to Respond to Your Marketing Visual. https://www.canva.com/video-editor/visual-marketing/
- 31 Bussiness Blogging Stats You Need to Know in 2021, Pamela Bump, Update May 06, 2022, https://blog.hubspot.com/marketing/business-blogging-in-2015