Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Agustus 2023

Cerpen : Lingkaran Waktu Dalam Secangkir Kopi




Di rumah kami, ada topik yang sering menjadi bahan obrolan panjang.  Bukan berita politik, atau gonjang-ganjing ekonomi, apalagi gosip pesohor. Semua objek tersebut jarang melintas pada percakapan rutin.  Kopi yang kerap beredar dalam setiap perbincangan keluarga. Bubuk hitam itu menjadi primadona di lingkunganku.

 

“Kamu jangan mengejek kopi.  Dia punya mata dan telinga, lho, bisa mendengar yang kita katakan.  Kopi juga bisa mengikuti kemana pun kamu pergi.”  Sambil berkata begitu Kak Benny, kakak semata wayangku, menyeruput secangkir kopi hangat. Aroma seduhan beradu udara pagi nan segar, memenuhi gazebo depan rumah kami.

 

Aku hanya mencibir mendengar ucapan berlebihannya.

 

“Eh, nggak percaya dia, Pa.”  Kakakku tertawa seraya memandang Papa yang ikut terkekeh melihatku menolak minuman favorit mereka.


Roti bakar lapis sarikaya di piring bolehlah jadi sarapanku, tapi tetap tanpa kopi.

 

“Nggak segitunya, kali,”  bantahku.

 

“Dengar ya, Tin, kita berhutang budi pada kopi. Kamu dan aku bisa sekolah karena kebun kopi.  Sekarang, berani kamu bilang kopi itu nggak enak dan rasanya aneh. Kualat nanti.” Kak Benny mengingatkan.

 

Kupandang dua pria terdekat ini dengan kesal.  Tiada hari tanpa minum kopi bagi mereka.  Beda dengan aku dan Mama yang agak antipati dengan rasa pejat.  Menurutku, hanya aroma yang menarik dari kopi .

 

Sebenarnya, tak ada yang salah dengan ucapan Kak Benny barusan.  Papa yang pegawai di salah satu instansi pemerintah, sangat terbantu dari hasil kebun kopi peninggalan kakek. 


Aku sudah merasakan makmurnya berkah kopi, apalagi ketika harga jualnya meningkat. Pundi-pundi kami bertambah dan aku boleh membeli beberapa barang yang diinginkan. Hal ini nyaris mustahil jika hanya mengandalkan gaji Papa.


 

Akan tetapi, bertanam kopi bukan berarti harus menikmatinya. Selera setiap orang berbeda dan kenikmatan bergantung pada lidah, bukan dari garis keturunan. Biarlah hasil jualnya untukku, tapi olahan buahnya untuk orang lain. 


Bagiku, memandang warna pekat saja sudah geli. Aku seperti ditarik ke dalam terowongan suram tanpa akhir.  Kegelapan yang tiada batas sudah menunggu, ditambah rasa pahit yang menggigit.

 

“Kamu lihatlah nanti, keluarga kita tidak bisa lepas dari kopi. DNA kita, ya kopi. Kalau diperiksa ke dokter, pasti dalam darah keluarga kita ada butir-butir kopi.  Kemana pun kita pergi, para kopi tetap mengikuti,”  ujar Kak Benny penuh keyakinan.

 

Aku melengos dan permisi masuk ke rumah untuk beberes. Kalau lama di sini, bicara kakakku malah semakin melantur.  Liburan begini, lebih baik kukerjakan tugas lain daripada pusing mendengarkan ocehannya.

 

Aku gadis remaja yang memiliki selera sendiri, punya pilihan sendiri. Kakak kandungku tak boleh memaksakan seleranya.  Karena segala sesuatu yang dipaksakan itu takkan pernah bertahan lama. Ibarat embun yang terpapar sinar mentari, hanya sementara melekat di dedaunan, kemudian memudar tanpa bekas.

 

Namun, seiring waktu berjalan, ramalan kakakku seperti mulai menunjukkan hasil. Setelah duduk di bangku kuliah dan mulai sering nongkrong dengan teman-teman, aku memperhatikan lingkaran pergaulanku umumnya menyukai kopi.  Kami sering janji temu di kafe yang bertema kopi, obrolan sering menyangkut kopi, hingga mereka senang ngumpul di rumahku karena tahu keluarga kami penghasil kopi.

 

“Kamu mahluk dari planet mana, sih, Tin? Kalau Papaku pengusaha kopi, aku pasti jadi orang berbahagia karena bisa sering minum kopi.” Begitu ucapan teman-temanku. “Sudah gratis, enak lagi.”

 

Bahkan kelakuan mereka tak kalah mengherankan. Pernah sekali waktu kuajak ke kebun kopi, mereka heboh berfoto-foto di dekat pohon kopi.  Aneh, pohon hijau dengan biji kemerahan apa menariknya? Aku sering melihatnya dan tak pernah bisa melihat keistimewaan.  



Cuma satu yang kutahu. Bulir-bulir kopi itu bisa tiba-tiba berubah menjadi lembar-lembar warna-warni yang digunakan untuk membeli baju atau sepatu.  Itu saja.

 

Hingga suatu hari aku kena batunya.

 

“Kamu kenapa, Tin?” tanya Mama panik melihat aku terbaring lemah di kamar.

 

“Kepalaku sakit sekali, Ma,” jawabku sambil memegang dahi.

 

“Kamu jatuh atau gimana?”

 

Aku menggeleng. “Tadi minum kopi, Ma, terus tiba-tiba kepalaku langsung sakit.”

 

Kak Benny yang mendengar, langsung masuk kamar.  “Lho, katanya nggak suka kopi, kok sekarang diminum?  Tuh, kualat kamu.  Dulu suka menghina kalau kopi itu jelek dan hitam pekat. Sekarang pusing, kan, karena minum kopi.”

 

Kalau sakit kepalaku tidak menggigit, rasanya ingin kubantah kakakku ini. Seharusnya yang keluar kata-kata penghiburan, bukan tuduhan. Kak Benny sebaiknya memberikan saran tepat agar rasa sakit ini lekas sembuh, bukan malah menghakimi.

 

Kemarin, karena tugas kuliah mendesak, kuminum kopi agar mata yang habis bergadang bisa tetap melek. Semua dilakukan diam-diam karena aku malu kalau sampai ketahuan Kak Benny.  Dia pasti menuduhku menjilat ludah sendiri.  Namun, sekarang? Ah, mungkin aku lagi ketiban sial.

 

Kupegang kepala yang tidak bisa diajak kompromi. “Kemarin malam, aku tidur larut karena mau selesaikan tugas kuliah, Ma. Siang ini supaya nggak ngantuk, kuminum kopi.  Tapi, malah jadi begini.” 

 

“Ayo, kita ke dokter sekarang,”  ajak Mama.

 

Aku menggeleng keras karena paling takut ke rumah sakit.  “Aku istirahat saja dulu, Ma. Kalau nggak sembuh, barulah besok ke dokter.  Aduh! Ini semua gara-gara kopi!”

 

“Hei, jangan salahkan kopi.  Kamu yang kurang tidur, kok kopi pula jadi kambing hitam,”  pungkas Kak Benny.

 

Aku meliriknya tajam. “Kakak keluar dululah.  Aku mau istirahat.”

 

Mama segera menarik keluar kakakku yang bawel itu.  Baguslah. Kalau tidak, sakit kepalaku pasti semakin akut.

 


Untung saja setelah tidur cukup, esok hari sakit kepalaku sudah lenyap tak bersisa.  Sejak itu aku berjanji takkan mau lagi menikmati kopi, walau hanya seteguk.

#

Waktu sudah menunjukkan jam 16.00 WIB.  Sebentar lagi jam besuk akan dimulai. Aku membersihkan kamar inap ini supaya kalau ada tamu datang, mereka merasa nyaman.

 

“Ma, tolong segelas air putih,”  pinta Mas Heru.

 

Aku mengangguk dan segera menyediakan segelas air hangat untuknya.  Ketika ia meminumnya sampai habis, diam-diam aku menghela nafas.  Andaikan saja sejak dulu Mas Heru mau minum banyak air putih ....

 

Tiba-tiba pintu diketuk. Aku membuka dan terlihat atasan suamiku beserta istri datang membesuk. Suamiku langsung duduk di tempat tidurnya melihat bos berkunjung.

 

“Gimana kabar Bapak, sudah baikan?”  tanya beliau pada kami.

 

Mas Heru mengangguk sambil tersenyum. “Sudah, Pak, kata dokter beberapa hari lagi sudah boleh pulang.”

 

Aku memandangi suamiku mengobrol dengan atasannya. Pikiran pun melesat ke beberapa tahun silam.

 

Setelah tamat kuliah, salah satu perusahaan nasional menerimaku sebagai karyawan. Di tempat kerja, aku bertemu dengan Mas Heru karena kantor kami berada pada gedung yang sama. 


Senang sekali bisa berkenalan dan jalan bareng dengannya. Sering ngobrol serta menjalin kedekatan,  aku tahu kalau Mas Heru sangat suka kopi, bahkan melebihi Papa dan Kak Benny.  Baginya, dalam sehari empat gelas kopi harus mengalir ke lambung.

 

Apakah doa kakak semata wayangku terkabul, atau ini sejenis kutukan kopi?  Entahlah. Tapi, orang-orang yang dekat denganku selalu suka kopi.  Aku sempat kesal ketika diajak nongkrong di kafe bernuansa kopi, tempat favorit Mas Heru.  Kalau duduk di sana, aku selalu memesan minuman apa saja, asalkan bukan kopi.

 

“Kamu coba cicipi kopi sedikit.  Nggak apa-apa berubah sedikit demi kesuksesan hubunganmu dengan Mas Heru.” Begitu nasehat Vera, teman sekantorku, ketika mendengar kekesalanku karena sering diajak ke tempat seperti itu.

 


Aku mencibir, persis seperti dulu pada Kak Benny.  “Itu namanya berpura-pura.  Apa hubungan yang didasari kepura-puraan bisa langgeng?”

 

“Dulu, dengan sebelum nikah dengan suamiku, kadang aku sering berpura-pura senang dengan hobinya. Dia suka mancing, padahal aku paling sebal disuruh nunggu ikan berenang.  Tapi, sesekali kuikuti juga. Ya, hitung-hitung cari pengalaman baru.”  Vera berkata tenang sambil menyendok nasi goreng. 


Kami sedang mengobrol ringan di kafe dekat kantor, sambil menunggu Mas Heru pulang rapat.

 

Aku berpikir sejenak. Apakah harus berubah hanya karena seorang pria?

 

“Hubungan itu kadang agak ribet, Tin.  Masalah kecil saja, bisa buat repot.  Seperti perbedaan tentang kopi ini, contohnya,”  ujar Vera ketika melihat aku masih ragu.

 

“Dari kecil aku selalu melihat keluargaku minum kopi dan kopi. Sekarang ketemu dengan orang yang suka kopi.  Kapan hidupku bisa sejenak berlalu dari kopi?”  keluhku sambil melorotkan tubuh di kursi.

 

Tiba-tiba Vera berbisik.  “Hati-hati, lho, Mas Heru itu banyak penggemarnya ....”

 

Ucapan itu membuat aku tersengat dan langsung terduduk tegak. Vera tersenyum penuh kemenangan.

 

Namun, jangan pikir Vera menang. Aku tetap enggan menjalin hubungan mengenakan topeng.  Jangan berpura-pura senang dengan apa yang kami jalani, padahal hatiku berontak. 


Andaikan kupaksa mengikuti saran Vera, syukur kalau Mas Heru memang jodoh. Usahaku berwajah dua ada hasilnya.  Kalau tidak?  Sudah berbohong, sendirian pula akhirnya dan hanya bisa gigit jari.

 

Kuutarakan kekesalanku pada Mas Heru tentang kopi dan hobi nongkrong di kafe favoritnya. Aku sudah siap dengan segala resiko, termasuk jika dia marah.  Mungkin saja dia akan berpikir kalau aku egois dan kekanak-kanakan. 

 

Untunglah, Mas Heru mau mengerti.  Sejak saat itu, kami sering bergantian tempat nongkrong, walau sesekali masih singgah ke kafe favoritnya.  Dia mau menerima pendapatku dan aku mulai menerima kegemarannya. Sekarang sebilah cincin belah rotan sudah melingkar di jari manisku.

 

“Adit sama siapa di rumah, Bu?”  Pertanyaan istri atasan membuyarkan lamunanku.

 


“Tinggal dulu sama kakek dan neneknya, Bu, menunggu Papanya sembuh,”  jawabku tentang buah hati kami yang telah berusia 3 tahun.

 

Setelah menikah, selalu kuhidangkan kopi berapa pun yang suamiku inginkan.  Selama dia senang, aku tidak masalah.  Toh, dari dulu sudah sering melihat Papa dan Kak Benny minum kopi.  Jadi, sekarang aku telah berdamai dan rutin berteman dengan kopi. 

 

Namun, kopi terus memberi kejutan. Rutin mengkonsumsi kopi, ternyata Mas Heru tidak setangguh yang kami pikirkan. Pencernaannya terganggu, sehingga harus dirawat di rumah sakit.

 

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Segera kuberanjak menuju lemari yang menyimpan persediaan pangan kami selama di rumah sakit. Tanganku mengubek-ubek lemari mencari dua kantong teh, tapi tiada ketemu.  Di laci rumah sakit yang tersisa hanya sebotol bubuk kopi. Aku lupa, siapa kemarin yang meletakkan di lemari.

 

“Bapak Ibu minum kopi?”  tanyaku pada kedua tamu kami.

 

Mereka serentak mengangguk.

 

Aku segera menyeduh kopi untuk mereka. Sambil mengaduk minuman hangat itu, pikiranku melayang pada percakapan dulu dengan Kak Benny. Mungkin dia benar, kopi punya mata dan telinga yang mendengar. 


Mereka akan mengikuti orang-orang yang selalu menghindar.  Buktinya, hari-hariku nyaris tak pernah lepas dari kopi, walaupun aku tetap tak menyukai kopi.

 

Bagaimana pula denga Adit, putera kami?  Apakah dia akan mengikuti jejak kakek, paman, dan papanya?  Biarlah, dia bebas memilih.  Kelak aku hanya mengingatkan, kalau sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik.


Kamis, 20 Juli 2023

Cerpen : Kornea


Sebentar lagi, sepasang bola mataku akan kembali melihat warna-warni dunia dengan segala keindahannya. Sinar mentari segera menerobos lensanya untuk meninggalkan jejak keunikan semesta. Namun dengan indera yang sama, aku pun akan menemukan kemuraman manusia dengan segala kekejian, keserakahan, dan fatamorgana.


Apakah kabar ini akan membawa berkat atau mudarat?


“Bapak beruntung bisa segera bertemu dengan donor yang tepat.” Begitu disampaikan asisten ketika aku hendak berangkat ke rumah sakit.  “Kalau nanti sudah bisa melihat dengan normal, Bapak tidak perlu tenaga saya lagi untuk mengetik. Tulisan dan karyanya langsung terurai dari jari-jari sang pengarang.”

            

Aku menggeleng sembari tersenyum. “Bagaimana mungkin aku melupakan jasa orang yang selalu menuntun ketika duniaku suram?”


Asistenku tidak menjawab. Sejenak ruangan tempat kami berkumpul mendadak hening. Aku hanya mendengar helaan napas dan dan sedu sedan yang tertahan di tenggorokan. Kemudian kakinya melangkah menjauh diiringi suara pintu yang ditutup.




Setahun yang lalu, dokter memvonis terkena keratoconus yang menyebabkan penglihatanku semakin buram. Aku mulai kesulitan melihat pada malam hari. Pekerjaanku turut terganggu. Kurang memperhatikan kesehatan dengan sering mengucek mata, menyebabkan kondisi korneaku menurun. Kalau keadaan semakin kritis, dokter menyarankan agar mulai memikirkan upaya mencari donor kornea.


Aku menghela napas mendengar saran tersebut. Mengucap memang mudah, tapi membuktikan perlu daya maksimal.  Saran dokter justru sempat membuat semangat semakin terkikis. Bagaimana tidak? Dulu aku pernah membaca kalau tipis sekali peluang mendapatkan donor kornea.  Konon, perbandingannya hanya 1 : 70, yaitu satu orang pendonor diantri oleh 70 penderita.


Namun, kemudian datang bantuan tak terduga dari orang yang belum pernah bersua.


“Puteri saya sangat mengagumi karya-karya Bapak.”  Ibu setengah baya itu mengusap air matanya. Ruangan rumah sakit ini dilingkupi kesenduan keluarga pendonor yang sekarang duduk mengelilingiku. “Dia ingin menjadi penulis. Namun, nasib berkata lain. Ketika mengetahui masalah penglihatan Bapak, puteri saya langsung berpesan. Jika terjadi sesuatu, dia mengusulkan agar korneanya didonorkan untuk Bapak.”



Aku menunduk sambil memandang foto gadis remaja yang terpampang di layar ponsel sang Ibu. Sepasang mata itu seperti bintang yang berbinar. Rambut ikal ditata menyerupai boneka kesayangan kakakku, ketika kami kami masih kanak-kanak. Kamera memantulkan kulitnya yang bercahaya seperti mentega dipoles merata. Hmm, mungkin malaikat berpikir seribu kali sebelum menarik napas kehidupannya.


“Dia hanya ingin tulisan Bapak terus bergema di dunia literasi. Sayang sekali jika masalah mata menghambat Bapak berkarya.” Seorang pria muda ikut menimpali. Wajahnya seperti duplikat foto gadis di ponsel tadi.


Aku mengangguk. Jika tulisan bisa mempertemukanku dengan mereka hari ini, yakinlah karya-karya berikutnya akan membawa dampak lebih dashyat. Kalau tulisanku berhasil, gadis itu akan tersenyum dari alam kekekalan.  Korneanya yang sekarang melekat di bola mataku merupakan penghubung abadi bagi kami.


Di balik haru biru keluarga pendonor, ada teman-teman dan penggemar berbahagia dengan kesehatanku. Peristiwa ini berdampak luas. Sekarang, bukan hanya tawaran kepenulisan yang semakin deras menghampiri, tapi juga acara-acara yang tidak berhubungan dengan literasi mulai singgah di agenda. Reputasiku menjadi pemikat bagi kegiatan tersebut.


            


Dengan kornea, aku memang kembali melihat keindahan dan kemuraman dunia.  Namun, sekarang tak perlu bingung dan berkeluh kesah memilah di antara keduanya. Bukankah hidup itu merupakan pilihan? Kita diberi kebebasan untuk memusatkan pandangan. Saat ini tanpa ragu, aku memilih mensyukuri kesehatanku dengan fokus melihat objek nan indah.

            

Pesta-pesta yang diselenggarakan oleh rekan-rekan mulai mencondongkan hatiku. Kornea ini kuajak menyeleksi wanita-wanita menawan untuk dijadikan pendamping kelak.  Keindahan mereka membuatku kembali merasakan warna-warni dunia. Tawa dan senyum manja menyesap ke dada seperti air pegunungan menyejukkan.

            

Bukan hanya sosok eksotik tersebut yang melintas melalui kornea, tapi juga penampilan eksklusif rekan-rekanku. Dengan setelan busana dan kendaraan merek terbaru, mereka tampak menawan dan berkelas. Aku seperti dibanting dari ketinggian gedung jika disandingkan dengan mereka.  Perlahan aku mulai merutuk nasib sendiri.

            

Jangan salah menduga. Aku sangat mencintai dunia merangkai huruf menjadi kalimat bermakna. Menulis ibarat separuh jiwa. Jika ada yang menyarankan agar berhenti mengukir kata-kata, maka sama artinya dengan menghempaskan sebagian nyawaku ke palung laut terdalam. Akan tetapi, apakah salah kalau mengharapkan segepok kebahagiaan materi dari goresan tangan?



Semasa kanak-kanak, Ibu pernah berucap agar aku senantiasa berhati-hati mencetuskan impian. Tembok rumah bertelinga dan mendengar setiap permintaan kita. Dia mampu menyampaikan keinginan penghuni rumah pada langit. Kemudian langit mempunyai kuasa untuk mengatur seluruh penduduk bumi.


Waktu itu aku hanya menyanggah dalam diam. Walaupun masih bocah, aku tahu kalau setiap keinginan mudah terwujud, maka drama manusia tidak menantang. Tahun-tahun umur terasa datar tanpa kendala. Mengejar impian merupakan pelangi kehidupan yang agak sulit diraih.

            

Namun, hari ini opiniku tergerus oleh kedatangan seorang pria bertubuh kerempeng. Dia mengenakan kemeja kusam dengan warna nyaris buram disapu detergen. Wajah kelihatan kuyu, penampilannya membuat dia patut diabaikan. Sosok ini mungkin tidak akan diperhitungkan di luar, tapi pesan yang dibawanya membuat jantungku berdegup kencang.

            

Sambil menyodorkan selembar cek, dia berucap, “Paham yang harus dikerjakan?”


            

Aku gugup mengangguk ketika melihat deretan angka nol dalam selembar kertas itu. Sepasang tungkai kakiku langsung bergetar.

            

Ini bukan permintaan sulit. Aku mengetahui tokoh populer yang akan menjadi objek tulisanku berikutnya. Bisik-bisik yang melintas di lingkaran rekan-rekan, beliau mempunyai jejak hitam dalam karier.  Entah sudah berapa banyak anak sungai yang mengalir dari kubangan air mata masyarakat.  Namun, sekarang sang tokoh perlu dukungan tulisan dari orang bertangan dingin sepertiku, demi citra di depan publik.

           

Pilihan rumit? Hmm, bukankah tadi sudah kukatakan hidup ini penuh dengan suka dan duka? Alternatif ada di tangan pribadi. Usia terlalu singkat untuk diajak berdebat tentang tanggung jawab moral.

            

Selanjutnya, untaian kata-kataku bukan hanya mengukir kisah romantis dalam novel dan prosa.  Siapapun yang perlu dukungan, semua ditangani dengan baik.  Soal benar atau salah, hanya kembali pada tanggung jawab masing-masing. Aku cuma penyambung opini. Lagipula, apa manfaat talenta jika tidak mampu membahagiakan diri sendiri dan orang lain?


            

Akhirnya, aku semakin sering hadir di acara pesohor. Di sana, hampir semua membicarakan karya-karyaku yang kerap menjadi santapan kritikus. Ada yang memuji, tapi tidak sedikit pula yang memaki. Aku cuma tersenyum menanggapi berbagai komentar yang berseliweran. Bersama kornea baru ini, hanya keindahan dunia yang melintas di depan mata.

            

Namun, kemudian muncul peristiwa yang menggelisahkan. Di setiap pesta, aku sering bertemu dengan pria berpakaian kumuh berambut gondrong. Matanya kelam seperti dasar sumur. Bibir melengkung dan terkatup rapat. Suhu ruangan mendadak menurun ketika dia hadir. Anehnya, keringat dingin justru mengalir di tengkuk. Kuperhatikan tidak seorangpun peduli pada pria itu. Atau, apakah hanya aku yang dapat melihatnya?

            

Aku mengatup kedua kelopak mata. Kegelisahan mulai menohok urat-urat jantung. Kugelengkan kepala mengusir risau di hati, seraya menyeret kaki melangkah keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Siapa tahu ketenangan bisa menjernihkan kegalauan.

            

Sesampai di luar, segera kuambil ponsel dan mencari nomor yang melintas di benak. Aku tahu ada orang yang bisa menjelaskan masalah ini. Setelah tersambung, dengan suara bergetar kuceritakan peristiwa yang sering dialami sekarang. Secara detail, kututurkan ciri-ciri sosok misterius yang sering menguntit ke  berbagai acara.

            

Mendengar kisahnya, lawan bicara di ujung telepon terdiam. Lama. Aku sampai mengira dia tertidur atau diam-diam mematikan sambungan.  Rasa gusar mulai merambat ke ubun-ubun. Namun, amarahku mereda karena masih mendengar helaan napas memburu.

           

“Pak, kalau ada waktu segeralah kemari.”

** 0 **

Aku duduk termangu di kamar seorang diri. Semua pembantu hingga asisten yang setia dilarang mendekati ruangan ini. Jendela sengaja kututup, bahkan gorden diturunkan agar sinar matahari sore tak dapat menerobos. Pintu dikunci rapat supaya jangan ada seorangpun mengganggu. Aku hanya ingin berteman dengan kesunyian dan ketenangan.


            

Di dalam ruangan ini, obrolan tadi kembali menggema di gendang telinga.

            

“Beberapa hari sebelum meninggal dunia, putri saya sering menggambar pria ini. Kami tak paham maksudnya sampai akhirnya dia menghembuskan napas terakhir.” Wanita itu terisak sambil menunjukkan tumpukan kertas yang tersimpan rapi di laci meja anaknya.

            

Setelah puas mengamati gambar-gambarnya, aku segera pamit. Ibu paruh baya tersebut masih tersedu sedan ketika mengantarku sampai ke gerbang. Saat itu, mungkin kenangan pada putrinya kembali menari di benak. Namun, tiada sepatah kata yang mampu kuucapkan. Otak seperti dipoles oleh adukan semen yang mulai membeku.

            

Di tengah lamunan, mendadak suhu kamar ini semakin dingin. Tulang-tulang seperti ditusuk jarum-jarum tak kasatmata.

            

“Tadi aku berencana mau mencabut nyawamu, tapi kemudian berubah pikiran.”

            

Aku menoleh dan terperanjat. Pria misterius itu sekarang berdiri tepat di belakangku. Matanya semakin kelam dengan raut muka muram. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Ingin menjerit, tapi suara ini seperti tersumbat. Tubuhku yang hendak bangkit meraih gerendel pintu, terhalang oleh kaki yang terpaku di lantai.

            

“Sayang sekali kalau bakat menulismu hanya membusuk dimakan cacing dalam kuburan. Selama kamu masih hidup, tulisanmu bisa tetap bermanfaat untuk orang lain.” Dia terdiam sejenak, tapi bukan untuk menghela napas. Mahluk ini tidak memiliki nyawa. 



Kemudian dia melanjutkan. “Kornea baru hanya membuat hidupmu semakin tersesat. Daripada semakin ruwet, telah diambil keputusan. Mulai besok, matamu akan kembali seperti semula, supaya kamu jangan terus menyalahgunakan keindahan dunia.”

            

Aku terperanjat dan ingin memberontak.  Apa daya, lidah tetap kelu dan tubuh seperti terikat oleh tali mistis. Kaki hanya menendang angin dan mulut cuma ternganga tanpa mampu meluncurkan sepatah kata.

            

Kemudian sosok misterius itu berjalan meninggalkan ruangan dengan menembus tembok.  Tepat di tengah tembok, dia berhenti sejenak dan menoleh kembali ke arahku.

           

“Oya, aku lupa menyampaikan satu hal lagi. Mulai sekarang tidak satu pun kornea di dunia ini yang mampu menyembuhkan matamu.“ Setelah berujar demikian, dia menghilang di balik tembok.

            

Akhirnya, sekarang aku bisa berteriak sekuat tenaga. 

Menikmati Makanan Tradisional Ikan Sulung-sulung pada Akhir Pekan

Ingin mencoba masakan tradisional berbahan ikan mungil yang unik? Suka dengan racikan bercita rasa pedas? Kalau berkunjung ke Medan, bolehla...