Langsung ke konten utama

Cerpen : Kornea


Sebentar lagi, sepasang bola mataku akan kembali melihat warna-warni dunia dengan segala keindahannya. Sinar mentari segera menerobos lensanya untuk meninggalkan jejak keunikan semesta. Namun dengan indera yang sama, aku pun akan menemukan kemuraman manusia dengan segala kekejian, keserakahan, dan fatamorgana.


Apakah kabar ini akan membawa berkat atau mudarat?


“Bapak beruntung bisa segera bertemu dengan donor yang tepat.” Begitu disampaikan asisten ketika aku hendak berangkat ke rumah sakit.  “Kalau nanti sudah bisa melihat dengan normal, Bapak tidak perlu tenaga saya lagi untuk mengetik. Tulisan dan karyanya langsung terurai dari jari-jari sang pengarang.”

            

Aku menggeleng sembari tersenyum. “Bagaimana mungkin aku melupakan jasa orang yang selalu menuntun ketika duniaku suram?”


Asistenku tidak menjawab. Sejenak ruangan tempat kami berkumpul mendadak hening. Aku hanya mendengar helaan napas dan dan sedu sedan yang tertahan di tenggorokan. Kemudian kakinya melangkah menjauh diiringi suara pintu yang ditutup.




Setahun yang lalu, dokter memvonis terkena keratoconus yang menyebabkan penglihatanku semakin buram. Aku mulai kesulitan melihat pada malam hari. Pekerjaanku turut terganggu. Kurang memperhatikan kesehatan dengan sering mengucek mata, menyebabkan kondisi korneaku menurun. Kalau keadaan semakin kritis, dokter menyarankan agar mulai memikirkan upaya mencari donor kornea.


Aku menghela napas mendengar saran tersebut. Mengucap memang mudah, tapi membuktikan perlu daya maksimal.  Saran dokter justru sempat membuat semangat semakin terkikis. Bagaimana tidak? Dulu aku pernah membaca kalau tipis sekali peluang mendapatkan donor kornea.  Konon, perbandingannya hanya 1 : 70, yaitu satu orang pendonor diantri oleh 70 penderita.


Namun, kemudian datang bantuan tak terduga dari orang yang belum pernah bersua.


“Puteri saya sangat mengagumi karya-karya Bapak.”  Ibu setengah baya itu mengusap air matanya. Ruangan rumah sakit ini dilingkupi kesenduan keluarga pendonor yang sekarang duduk mengelilingiku. “Dia ingin menjadi penulis. Namun, nasib berkata lain. Ketika mengetahui masalah penglihatan Bapak, puteri saya langsung berpesan. Jika terjadi sesuatu, dia mengusulkan agar korneanya didonorkan untuk Bapak.”



Aku menunduk sambil memandang foto gadis remaja yang terpampang di layar ponsel sang Ibu. Sepasang mata itu seperti bintang yang berbinar. Rambut ikal ditata menyerupai boneka kesayangan kakakku, ketika kami kami masih kanak-kanak. Kamera memantulkan kulitnya yang bercahaya seperti mentega dipoles merata. Hmm, mungkin malaikat berpikir seribu kali sebelum menarik napas kehidupannya.


“Dia hanya ingin tulisan Bapak terus bergema di dunia literasi. Sayang sekali jika masalah mata menghambat Bapak berkarya.” Seorang pria muda ikut menimpali. Wajahnya seperti duplikat foto gadis di ponsel tadi.


Aku mengangguk. Jika tulisan bisa mempertemukanku dengan mereka hari ini, yakinlah karya-karya berikutnya akan membawa dampak lebih dashyat. Kalau tulisanku berhasil, gadis itu akan tersenyum dari alam kekekalan.  Korneanya yang sekarang melekat di bola mataku merupakan penghubung abadi bagi kami.


Di balik haru biru keluarga pendonor, ada teman-teman dan penggemar berbahagia dengan kesehatanku. Peristiwa ini berdampak luas. Sekarang, bukan hanya tawaran kepenulisan yang semakin deras menghampiri, tapi juga acara-acara yang tidak berhubungan dengan literasi mulai singgah di agenda. Reputasiku menjadi pemikat bagi kegiatan tersebut.


            


Dengan kornea, aku memang kembali melihat keindahan dan kemuraman dunia.  Namun, sekarang tak perlu bingung dan berkeluh kesah memilah di antara keduanya. Bukankah hidup itu merupakan pilihan? Kita diberi kebebasan untuk memusatkan pandangan. Saat ini tanpa ragu, aku memilih mensyukuri kesehatanku dengan fokus melihat objek nan indah.

            

Pesta-pesta yang diselenggarakan oleh rekan-rekan mulai mencondongkan hatiku. Kornea ini kuajak menyeleksi wanita-wanita menawan untuk dijadikan pendamping kelak.  Keindahan mereka membuatku kembali merasakan warna-warni dunia. Tawa dan senyum manja menyesap ke dada seperti air pegunungan menyejukkan.

            

Bukan hanya sosok eksotik tersebut yang melintas melalui kornea, tapi juga penampilan eksklusif rekan-rekanku. Dengan setelan busana dan kendaraan merek terbaru, mereka tampak menawan dan berkelas. Aku seperti dibanting dari ketinggian gedung jika disandingkan dengan mereka.  Perlahan aku mulai merutuk nasib sendiri.

            

Jangan salah menduga. Aku sangat mencintai dunia merangkai huruf menjadi kalimat bermakna. Menulis ibarat separuh jiwa. Jika ada yang menyarankan agar berhenti mengukir kata-kata, maka sama artinya dengan menghempaskan sebagian nyawaku ke palung laut terdalam. Akan tetapi, apakah salah kalau mengharapkan segepok kebahagiaan materi dari goresan tangan?



Semasa kanak-kanak, Ibu pernah berucap agar aku senantiasa berhati-hati mencetuskan impian. Tembok rumah bertelinga dan mendengar setiap permintaan kita. Dia mampu menyampaikan keinginan penghuni rumah pada langit. Kemudian langit mempunyai kuasa untuk mengatur seluruh penduduk bumi.


Waktu itu aku hanya menyanggah dalam diam. Walaupun masih bocah, aku tahu kalau setiap keinginan mudah terwujud, maka drama manusia tidak menantang. Tahun-tahun umur terasa datar tanpa kendala. Mengejar impian merupakan pelangi kehidupan yang agak sulit diraih.

            

Namun, hari ini opiniku tergerus oleh kedatangan seorang pria bertubuh kerempeng. Dia mengenakan kemeja kusam dengan warna nyaris buram disapu detergen. Wajah kelihatan kuyu, penampilannya membuat dia patut diabaikan. Sosok ini mungkin tidak akan diperhitungkan di luar, tapi pesan yang dibawanya membuat jantungku berdegup kencang.

            

Sambil menyodorkan selembar cek, dia berucap, “Paham yang harus dikerjakan?”


            

Aku gugup mengangguk ketika melihat deretan angka nol dalam selembar kertas itu. Sepasang tungkai kakiku langsung bergetar.

            

Ini bukan permintaan sulit. Aku mengetahui tokoh populer yang akan menjadi objek tulisanku berikutnya. Bisik-bisik yang melintas di lingkaran rekan-rekan, beliau mempunyai jejak hitam dalam karier.  Entah sudah berapa banyak anak sungai yang mengalir dari kubangan air mata masyarakat.  Namun, sekarang sang tokoh perlu dukungan tulisan dari orang bertangan dingin sepertiku, demi citra di depan publik.

           

Pilihan rumit? Hmm, bukankah tadi sudah kukatakan hidup ini penuh dengan suka dan duka? Alternatif ada di tangan pribadi. Usia terlalu singkat untuk diajak berdebat tentang tanggung jawab moral.

            

Selanjutnya, untaian kata-kataku bukan hanya mengukir kisah romantis dalam novel dan prosa.  Siapapun yang perlu dukungan, semua ditangani dengan baik.  Soal benar atau salah, hanya kembali pada tanggung jawab masing-masing. Aku cuma penyambung opini. Lagipula, apa manfaat talenta jika tidak mampu membahagiakan diri sendiri dan orang lain?


            

Akhirnya, aku semakin sering hadir di acara pesohor. Di sana, hampir semua membicarakan karya-karyaku yang kerap menjadi santapan kritikus. Ada yang memuji, tapi tidak sedikit pula yang memaki. Aku cuma tersenyum menanggapi berbagai komentar yang berseliweran. Bersama kornea baru ini, hanya keindahan dunia yang melintas di depan mata.

            

Namun, kemudian muncul peristiwa yang menggelisahkan. Di setiap pesta, aku sering bertemu dengan pria berpakaian kumuh berambut gondrong. Matanya kelam seperti dasar sumur. Bibir melengkung dan terkatup rapat. Suhu ruangan mendadak menurun ketika dia hadir. Anehnya, keringat dingin justru mengalir di tengkuk. Kuperhatikan tidak seorangpun peduli pada pria itu. Atau, apakah hanya aku yang dapat melihatnya?

            

Aku mengatup kedua kelopak mata. Kegelisahan mulai menohok urat-urat jantung. Kugelengkan kepala mengusir risau di hati, seraya menyeret kaki melangkah keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Siapa tahu ketenangan bisa menjernihkan kegalauan.

            

Sesampai di luar, segera kuambil ponsel dan mencari nomor yang melintas di benak. Aku tahu ada orang yang bisa menjelaskan masalah ini. Setelah tersambung, dengan suara bergetar kuceritakan peristiwa yang sering dialami sekarang. Secara detail, kututurkan ciri-ciri sosok misterius yang sering menguntit ke  berbagai acara.

            

Mendengar kisahnya, lawan bicara di ujung telepon terdiam. Lama. Aku sampai mengira dia tertidur atau diam-diam mematikan sambungan.  Rasa gusar mulai merambat ke ubun-ubun. Namun, amarahku mereda karena masih mendengar helaan napas memburu.

           

“Pak, kalau ada waktu segeralah kemari.”

** 0 **

Aku duduk termangu di kamar seorang diri. Semua pembantu hingga asisten yang setia dilarang mendekati ruangan ini. Jendela sengaja kututup, bahkan gorden diturunkan agar sinar matahari sore tak dapat menerobos. Pintu dikunci rapat supaya jangan ada seorangpun mengganggu. Aku hanya ingin berteman dengan kesunyian dan ketenangan.


            

Di dalam ruangan ini, obrolan tadi kembali menggema di gendang telinga.

            

“Beberapa hari sebelum meninggal dunia, putri saya sering menggambar pria ini. Kami tak paham maksudnya sampai akhirnya dia menghembuskan napas terakhir.” Wanita itu terisak sambil menunjukkan tumpukan kertas yang tersimpan rapi di laci meja anaknya.

            

Setelah puas mengamati gambar-gambarnya, aku segera pamit. Ibu paruh baya tersebut masih tersedu sedan ketika mengantarku sampai ke gerbang. Saat itu, mungkin kenangan pada putrinya kembali menari di benak. Namun, tiada sepatah kata yang mampu kuucapkan. Otak seperti dipoles oleh adukan semen yang mulai membeku.

            

Di tengah lamunan, mendadak suhu kamar ini semakin dingin. Tulang-tulang seperti ditusuk jarum-jarum tak kasatmata.

            

“Tadi aku berencana mau mencabut nyawamu, tapi kemudian berubah pikiran.”

            

Aku menoleh dan terperanjat. Pria misterius itu sekarang berdiri tepat di belakangku. Matanya semakin kelam dengan raut muka muram. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Ingin menjerit, tapi suara ini seperti tersumbat. Tubuhku yang hendak bangkit meraih gerendel pintu, terhalang oleh kaki yang terpaku di lantai.

            

“Sayang sekali kalau bakat menulismu hanya membusuk dimakan cacing dalam kuburan. Selama kamu masih hidup, tulisanmu bisa tetap bermanfaat untuk orang lain.” Dia terdiam sejenak, tapi bukan untuk menghela napas. Mahluk ini tidak memiliki nyawa. 



Kemudian dia melanjutkan. “Kornea baru hanya membuat hidupmu semakin tersesat. Daripada semakin ruwet, telah diambil keputusan. Mulai besok, matamu akan kembali seperti semula, supaya kamu jangan terus menyalahgunakan keindahan dunia.”

            

Aku terperanjat dan ingin memberontak.  Apa daya, lidah tetap kelu dan tubuh seperti terikat oleh tali mistis. Kaki hanya menendang angin dan mulut cuma ternganga tanpa mampu meluncurkan sepatah kata.

            

Kemudian sosok misterius itu berjalan meninggalkan ruangan dengan menembus tembok.  Tepat di tengah tembok, dia berhenti sejenak dan menoleh kembali ke arahku.

           

“Oya, aku lupa menyampaikan satu hal lagi. Mulai sekarang tidak satu pun kornea di dunia ini yang mampu menyembuhkan matamu.“ Setelah berujar demikian, dia menghilang di balik tembok.

            

Akhirnya, sekarang aku bisa berteriak sekuat tenaga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Ketika Konten Blog Menggeser Sistem Marketing Jadul

Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas  berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya. "Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri. Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu. Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen.  Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin. Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng. Jawaban orang tua