Langsung ke konten utama

Cerpen : Lingkaran Waktu Dalam Secangkir Kopi




Di rumah kami, ada topik yang sering menjadi bahan obrolan panjang.  Bukan berita politik, atau gonjang-ganjing ekonomi, apalagi gosip pesohor. Semua objek tersebut jarang melintas pada percakapan rutin.  Kopi yang kerap beredar dalam setiap perbincangan keluarga. Bubuk hitam itu menjadi primadona di lingkunganku.

 

“Kamu jangan mengejek kopi.  Dia punya mata dan telinga, lho, bisa mendengar yang kita katakan.  Kopi juga bisa mengikuti kemana pun kamu pergi.”  Sambil berkata begitu Kak Benny, kakak semata wayangku, menyeruput secangkir kopi hangat. Aroma seduhan beradu udara pagi nan segar, memenuhi gazebo depan rumah kami.

 

Aku hanya mencibir mendengar ucapan berlebihannya.

 

“Eh, nggak percaya dia, Pa.”  Kakakku tertawa seraya memandang Papa yang ikut terkekeh melihatku menolak minuman favorit mereka.


Roti bakar lapis sarikaya di piring bolehlah jadi sarapanku, tapi tetap tanpa kopi.

 

“Nggak segitunya, kali,”  bantahku.

 

“Dengar ya, Tin, kita berhutang budi pada kopi. Kamu dan aku bisa sekolah karena kebun kopi.  Sekarang, berani kamu bilang kopi itu nggak enak dan rasanya aneh. Kualat nanti.” Kak Benny mengingatkan.

 

Kupandang dua pria terdekat ini dengan kesal.  Tiada hari tanpa minum kopi bagi mereka.  Beda dengan aku dan Mama yang agak antipati dengan rasa pejat.  Menurutku, hanya aroma yang menarik dari kopi .

 

Sebenarnya, tak ada yang salah dengan ucapan Kak Benny barusan.  Papa yang pegawai di salah satu instansi pemerintah, sangat terbantu dari hasil kebun kopi peninggalan kakek. 


Aku sudah merasakan makmurnya berkah kopi, apalagi ketika harga jualnya meningkat. Pundi-pundi kami bertambah dan aku boleh membeli beberapa barang yang diinginkan. Hal ini nyaris mustahil jika hanya mengandalkan gaji Papa.


 

Akan tetapi, bertanam kopi bukan berarti harus menikmatinya. Selera setiap orang berbeda dan kenikmatan bergantung pada lidah, bukan dari garis keturunan. Biarlah hasil jualnya untukku, tapi olahan buahnya untuk orang lain. 


Bagiku, memandang warna pekat saja sudah geli. Aku seperti ditarik ke dalam terowongan suram tanpa akhir.  Kegelapan yang tiada batas sudah menunggu, ditambah rasa pahit yang menggigit.

 

“Kamu lihatlah nanti, keluarga kita tidak bisa lepas dari kopi. DNA kita, ya kopi. Kalau diperiksa ke dokter, pasti dalam darah keluarga kita ada butir-butir kopi.  Kemana pun kita pergi, para kopi tetap mengikuti,”  ujar Kak Benny penuh keyakinan.

 

Aku melengos dan permisi masuk ke rumah untuk beberes. Kalau lama di sini, bicara kakakku malah semakin melantur.  Liburan begini, lebih baik kukerjakan tugas lain daripada pusing mendengarkan ocehannya.

 

Aku gadis remaja yang memiliki selera sendiri, punya pilihan sendiri. Kakak kandungku tak boleh memaksakan seleranya.  Karena segala sesuatu yang dipaksakan itu takkan pernah bertahan lama. Ibarat embun yang terpapar sinar mentari, hanya sementara melekat di dedaunan, kemudian memudar tanpa bekas.

 

Namun, seiring waktu berjalan, ramalan kakakku seperti mulai menunjukkan hasil. Setelah duduk di bangku kuliah dan mulai sering nongkrong dengan teman-teman, aku memperhatikan lingkaran pergaulanku umumnya menyukai kopi.  Kami sering janji temu di kafe yang bertema kopi, obrolan sering menyangkut kopi, hingga mereka senang ngumpul di rumahku karena tahu keluarga kami penghasil kopi.

 

“Kamu mahluk dari planet mana, sih, Tin? Kalau Papaku pengusaha kopi, aku pasti jadi orang berbahagia karena bisa sering minum kopi.” Begitu ucapan teman-temanku. “Sudah gratis, enak lagi.”

 

Bahkan kelakuan mereka tak kalah mengherankan. Pernah sekali waktu kuajak ke kebun kopi, mereka heboh berfoto-foto di dekat pohon kopi.  Aneh, pohon hijau dengan biji kemerahan apa menariknya? Aku sering melihatnya dan tak pernah bisa melihat keistimewaan.  



Cuma satu yang kutahu. Bulir-bulir kopi itu bisa tiba-tiba berubah menjadi lembar-lembar warna-warni yang digunakan untuk membeli baju atau sepatu.  Itu saja.

 

Hingga suatu hari aku kena batunya.

 

“Kamu kenapa, Tin?” tanya Mama panik melihat aku terbaring lemah di kamar.

 

“Kepalaku sakit sekali, Ma,” jawabku sambil memegang dahi.

 

“Kamu jatuh atau gimana?”

 

Aku menggeleng. “Tadi minum kopi, Ma, terus tiba-tiba kepalaku langsung sakit.”

 

Kak Benny yang mendengar, langsung masuk kamar.  “Lho, katanya nggak suka kopi, kok sekarang diminum?  Tuh, kualat kamu.  Dulu suka menghina kalau kopi itu jelek dan hitam pekat. Sekarang pusing, kan, karena minum kopi.”

 

Kalau sakit kepalaku tidak menggigit, rasanya ingin kubantah kakakku ini. Seharusnya yang keluar kata-kata penghiburan, bukan tuduhan. Kak Benny sebaiknya memberikan saran tepat agar rasa sakit ini lekas sembuh, bukan malah menghakimi.

 

Kemarin, karena tugas kuliah mendesak, kuminum kopi agar mata yang habis bergadang bisa tetap melek. Semua dilakukan diam-diam karena aku malu kalau sampai ketahuan Kak Benny.  Dia pasti menuduhku menjilat ludah sendiri.  Namun, sekarang? Ah, mungkin aku lagi ketiban sial.

 

Kupegang kepala yang tidak bisa diajak kompromi. “Kemarin malam, aku tidur larut karena mau selesaikan tugas kuliah, Ma. Siang ini supaya nggak ngantuk, kuminum kopi.  Tapi, malah jadi begini.” 

 

“Ayo, kita ke dokter sekarang,”  ajak Mama.

 

Aku menggeleng keras karena paling takut ke rumah sakit.  “Aku istirahat saja dulu, Ma. Kalau nggak sembuh, barulah besok ke dokter.  Aduh! Ini semua gara-gara kopi!”

 

“Hei, jangan salahkan kopi.  Kamu yang kurang tidur, kok kopi pula jadi kambing hitam,”  pungkas Kak Benny.

 

Aku meliriknya tajam. “Kakak keluar dululah.  Aku mau istirahat.”

 

Mama segera menarik keluar kakakku yang bawel itu.  Baguslah. Kalau tidak, sakit kepalaku pasti semakin akut.

 


Untung saja setelah tidur cukup, esok hari sakit kepalaku sudah lenyap tak bersisa.  Sejak itu aku berjanji takkan mau lagi menikmati kopi, walau hanya seteguk.

#

Waktu sudah menunjukkan jam 16.00 WIB.  Sebentar lagi jam besuk akan dimulai. Aku membersihkan kamar inap ini supaya kalau ada tamu datang, mereka merasa nyaman.

 

“Ma, tolong segelas air putih,”  pinta Mas Heru.

 

Aku mengangguk dan segera menyediakan segelas air hangat untuknya.  Ketika ia meminumnya sampai habis, diam-diam aku menghela nafas.  Andaikan saja sejak dulu Mas Heru mau minum banyak air putih ....

 

Tiba-tiba pintu diketuk. Aku membuka dan terlihat atasan suamiku beserta istri datang membesuk. Suamiku langsung duduk di tempat tidurnya melihat bos berkunjung.

 

“Gimana kabar Bapak, sudah baikan?”  tanya beliau pada kami.

 

Mas Heru mengangguk sambil tersenyum. “Sudah, Pak, kata dokter beberapa hari lagi sudah boleh pulang.”

 

Aku memandangi suamiku mengobrol dengan atasannya. Pikiran pun melesat ke beberapa tahun silam.

 

Setelah tamat kuliah, salah satu perusahaan nasional menerimaku sebagai karyawan. Di tempat kerja, aku bertemu dengan Mas Heru karena kantor kami berada pada gedung yang sama. 


Senang sekali bisa berkenalan dan jalan bareng dengannya. Sering ngobrol serta menjalin kedekatan,  aku tahu kalau Mas Heru sangat suka kopi, bahkan melebihi Papa dan Kak Benny.  Baginya, dalam sehari empat gelas kopi harus mengalir ke lambung.

 

Apakah doa kakak semata wayangku terkabul, atau ini sejenis kutukan kopi?  Entahlah. Tapi, orang-orang yang dekat denganku selalu suka kopi.  Aku sempat kesal ketika diajak nongkrong di kafe bernuansa kopi, tempat favorit Mas Heru.  Kalau duduk di sana, aku selalu memesan minuman apa saja, asalkan bukan kopi.

 

“Kamu coba cicipi kopi sedikit.  Nggak apa-apa berubah sedikit demi kesuksesan hubunganmu dengan Mas Heru.” Begitu nasehat Vera, teman sekantorku, ketika mendengar kekesalanku karena sering diajak ke tempat seperti itu.

 


Aku mencibir, persis seperti dulu pada Kak Benny.  “Itu namanya berpura-pura.  Apa hubungan yang didasari kepura-puraan bisa langgeng?”

 

“Dulu, dengan sebelum nikah dengan suamiku, kadang aku sering berpura-pura senang dengan hobinya. Dia suka mancing, padahal aku paling sebal disuruh nunggu ikan berenang.  Tapi, sesekali kuikuti juga. Ya, hitung-hitung cari pengalaman baru.”  Vera berkata tenang sambil menyendok nasi goreng. 


Kami sedang mengobrol ringan di kafe dekat kantor, sambil menunggu Mas Heru pulang rapat.

 

Aku berpikir sejenak. Apakah harus berubah hanya karena seorang pria?

 

“Hubungan itu kadang agak ribet, Tin.  Masalah kecil saja, bisa buat repot.  Seperti perbedaan tentang kopi ini, contohnya,”  ujar Vera ketika melihat aku masih ragu.

 

“Dari kecil aku selalu melihat keluargaku minum kopi dan kopi. Sekarang ketemu dengan orang yang suka kopi.  Kapan hidupku bisa sejenak berlalu dari kopi?”  keluhku sambil melorotkan tubuh di kursi.

 

Tiba-tiba Vera berbisik.  “Hati-hati, lho, Mas Heru itu banyak penggemarnya ....”

 

Ucapan itu membuat aku tersengat dan langsung terduduk tegak. Vera tersenyum penuh kemenangan.

 

Namun, jangan pikir Vera menang. Aku tetap enggan menjalin hubungan mengenakan topeng.  Jangan berpura-pura senang dengan apa yang kami jalani, padahal hatiku berontak. 


Andaikan kupaksa mengikuti saran Vera, syukur kalau Mas Heru memang jodoh. Usahaku berwajah dua ada hasilnya.  Kalau tidak?  Sudah berbohong, sendirian pula akhirnya dan hanya bisa gigit jari.

 

Kuutarakan kekesalanku pada Mas Heru tentang kopi dan hobi nongkrong di kafe favoritnya. Aku sudah siap dengan segala resiko, termasuk jika dia marah.  Mungkin saja dia akan berpikir kalau aku egois dan kekanak-kanakan. 

 

Untunglah, Mas Heru mau mengerti.  Sejak saat itu, kami sering bergantian tempat nongkrong, walau sesekali masih singgah ke kafe favoritnya.  Dia mau menerima pendapatku dan aku mulai menerima kegemarannya. Sekarang sebilah cincin belah rotan sudah melingkar di jari manisku.

 

“Adit sama siapa di rumah, Bu?”  Pertanyaan istri atasan membuyarkan lamunanku.

 


“Tinggal dulu sama kakek dan neneknya, Bu, menunggu Papanya sembuh,”  jawabku tentang buah hati kami yang telah berusia 3 tahun.

 

Setelah menikah, selalu kuhidangkan kopi berapa pun yang suamiku inginkan.  Selama dia senang, aku tidak masalah.  Toh, dari dulu sudah sering melihat Papa dan Kak Benny minum kopi.  Jadi, sekarang aku telah berdamai dan rutin berteman dengan kopi. 

 

Namun, kopi terus memberi kejutan. Rutin mengkonsumsi kopi, ternyata Mas Heru tidak setangguh yang kami pikirkan. Pencernaannya terganggu, sehingga harus dirawat di rumah sakit.

 

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Segera kuberanjak menuju lemari yang menyimpan persediaan pangan kami selama di rumah sakit. Tanganku mengubek-ubek lemari mencari dua kantong teh, tapi tiada ketemu.  Di laci rumah sakit yang tersisa hanya sebotol bubuk kopi. Aku lupa, siapa kemarin yang meletakkan di lemari.

 

“Bapak Ibu minum kopi?”  tanyaku pada kedua tamu kami.

 

Mereka serentak mengangguk.

 

Aku segera menyeduh kopi untuk mereka. Sambil mengaduk minuman hangat itu, pikiranku melayang pada percakapan dulu dengan Kak Benny. Mungkin dia benar, kopi punya mata dan telinga yang mendengar. 


Mereka akan mengikuti orang-orang yang selalu menghindar.  Buktinya, hari-hariku nyaris tak pernah lepas dari kopi, walaupun aku tetap tak menyukai kopi.

 

Bagaimana pula denga Adit, putera kami?  Apakah dia akan mengikuti jejak kakek, paman, dan papanya?  Biarlah, dia bebas memilih.  Kelak aku hanya mengingatkan, kalau sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Ketika Konten Blog Menggeser Sistem Marketing Jadul

Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas  berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya. "Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri. Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu. Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen.  Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin. Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng. Jawaban orang tua