Selasa, 21 November 2023

Menikmati Makanan Tradisional Ikan Sulung-sulung pada Akhir Pekan

Makanan Tradisional


Ingin mencoba masakan tradisional berbahan ikan mungil yang unik? Suka dengan racikan bercita rasa pedas? Kalau berkunjung ke Medan, bolehlah memilih hidangan ikan sulung-sulung.  


Sekilas tampilannya seperti gulai ikan biasa, atau di sini disebut arsik. Warnanya kekuningan kunyit, serta terselip potongan cabai kemerahan dalam balutan bumbu. 


Namun,  jangan terkecoh dengan namanya, ya. Walaupun tertera kata 'sulung', tidak berarti ikan ini berasal dari spesies tertua. Itu hanya sepenggal nama pembeda identitas, bukan gambaran karakter. Jadi, ikan sulung-sulung tidak termasuk jenis langka dan dilindungi. 


Sulung juga bukan berarti berukuran jumbo. Ikannya mungil sekali, sekitar 2 - 3 cm. Dulu saya mengira hidangan ini sejenis ikan teri yang dicampur bumbu gulai. Ternyata salah total. Sulung-sulung merupakan ikan segar air tawar yang dipanen dari kolam di pinggiran kota. Warna aslinya keperakan dengan sisik-sisik halus.  


Saya membeli makanan ini dari Pasar Pancur Batu, Deli Serdang. Untuk tiba di pasar tradisional tersebut, perlu menempuh perjalanan sekitar satu jam  dari pusat kota Medan. Kita akan melewati lokasinya ketika menuju kawasan wisata Brastagi. 


Pancur Batu merupakan kota kecil, tapi kaya akan kuliner dan beragam tempat wisata menarik. Udaranya pun sejuk, cocok untuk healing sejenak dari hiruk pikuk kota besar. 


Ukuran mungil ikan sulung-sulung

Oya, di Sumut masyarakat menyebut 'pasar' dengan istilah 'pajak'. Tapi bukan kantor pajak,  lho. Beda lagi. Jadi, penulisan selanjutnya kita sebut Pajak Pancur Batu supaya enggak rancu. 


Siapa tahu suatu hari nanti berkunjung ke mari, jangan kaget kalau diajak jalan-jalan ke pajak. Ajakan ini artinya belanja sekaligus makan-makan, bukan kewajiban membayar tagihan tahunan. Oke? 


Makanan Tradisional dengan Cita Rasa Pedas 

Untuk memperoleh ikan sulung-sulung, saya pergi pada hari Sabtu. Kalau mau belanja ke Pajak Pancur Batu,  memang sebaiknya pilihlah pas Sabtu. 


Saat itu, pajak sedang pekan. Istilah pekan artinya, semua pedagang berkumpul lebih ramai daripada hari biasa. Komoditinya pun lebih lengkap dan bervariasi dengan harga murah meriah. 


Hari biasa bukan berarti tidak ada penjual. Pajak tetap rutin dibuka, hanya saja tidak seramai akhir pekan. Variasi komoditasnya pun kurang lengkap dibandingkan Sabtu. Jadi, kalau mau puas belanja,  datanglah pada hari ini. 


Saya sendiri sudah lama tidak mencoba ikan sulung-sulung. Dulu pernah menyantapnya dan sering kepedasan. Lama terlupakan, sekarang ingin icip-icip lagi. Sudah berubahkah tampilan dan rasanya?


Ikan versi dulu berukuran agak besar sekitar 3 - 5 cm.  Makanya,  saya agak terpana melihat ikan sulung-sulung sekarang yang semakin menyusut. Posturnya lebih mungil dari dulu.  Apakah para ikan hidup berhemat karena harga-harga naik? Hmm.... 


Yang tetap sama dari penganan ini adalah taburan cabai khas makanan Sumatera. Makanan di sini memang cocok untuk yang berselera pedas mengigit. Selain selera turun temurun,  ladang cabai memang melimpah di daerah ini. 


Ya,  mungkin itu alasan mengapa  banyak makanan Sumatera bercita rasa pedas. Jadi, kalau tidak terbiasa dengan kepedasan, bersiaplah lidah berjoget walaupun tiada musik mengalun. 


Selain cabai, ada satu jenis campuran yang membuat saya suka menyantap sulung-sulung. Pernah dengar istilah kacang koro? Ini termasuk dalam keluarga kacang-kacangan, cuma agak berbeda dengan saudaranya. Kacang ini berukuran lebih gemuk seperti uang logam Rp 500. Untuk beragam gulai ikan, kacang koro bisa menjadi campuran tepat. 


Kacang koro penyedap rasa

Dari luar  tampilan kacang ini kelihatan keras dan mungkin akan menantang ketangguhan gigi. Namun,  setelah dicoba ternyata lembut nian. Enggak perlu usaha keras untuk menaklukkannya. Kacang ini bakalan hancur dalam sekali kunyahan gigi. Prinsip jangan menilai sesuatu dari tampilan luar, boleh jadi berlaku juga untuk makanan. 


Selain cabai, ikan, dan kacang koro,  sulung-sulung dicampur pula dengan asam kincung dan cekala, atau sering disebut kecombrang. Tak ketinggalan ada bawang, kunyit, dan serai.  


Saya bukan ahli per-bumbu-an, tapi kalau boleh menebak dalam hidangan ditambahkan kelapa yang krenyes-krenyes saat dikunyah. Dicampur nasi untuk makan siang, masakan ini nyam-nyam sekali. Walaupun dari Sumut, dijamin halal,  kok. 


Akhir Pekan bersama Makanan  Tradisional

Kalau rajin menyusuri pasar tradisional,  banyak masakan tradisional anti mainstream yang belum terekspos, seperti ikan sulung-sulung. Saya belum pernah menemukan hidangan ini di rumah makan. Jangankan masuk daftar menu, namanya pun hanya tersebar dari mulut ke mulut. 


Karena sulit menemukan menu ini di rumah makan biasa, kalau sedang selera harus mencarinya di Pajak Pancur Batu. Soal rasa, masakan tidak kalah jika dibandingkan dengan olahan ikan lain. 


Selera memang bersifat personal. Untuk saya, ikan sulung-sulung pas melengkapi sajian makan siang akhir pekan. Saya enggak perlu repot lagi memasak. Ditambah nasi dan sedikit sayuran, hidangan sudah tersaji lengkap. 


Sebenarnya, ikan sulung-sulung mentah masih ada dijual, walaupun agak jarang. Racikan tambahan bisa dibeli pada penjual bumbu. Namun, bagi saya makanan yang sudah jadi tetap lebih mengena. Kalau saya yang masak, takutnya berubah pula nanti rasanya. Wkwkwk. 

Sajian ikan sulung-sulung untuk makan siang


Jika ada kesempatan, yuk,  jelajah pasar-pasar tradisional di sekitar kita untuk menemukan kuliner unik. Negeri ini kaya dengan beragam masakan khas yang belum gencar diulas. Jika bukan kita sebagai anak bangsa, siapa lagi yang akan memperkenalkannya pada masyarakat?


Mari promosikan kuliner anak negeri. 


Selasa, 14 November 2023

Sitemap www.gariscorat-coret.com





Senin, 13 November 2023

Ini Perbedaan Kompleks Perumahan dan Pemukiman Biasa

Kompleks Perumahan

Awal tahun 2005 menjadi saat mengesankan bagi saya. Berbarengan dengan pergantian tahun, keluarga kami pindah dari rumah yang berlokasi di pemukiman biasa ke kompleks perumahan. 


Sejak kecil, saya dan keluarga selalu tinggal di pemukiman biasa. Orang tua lebih suka tinggal di lokasi pemukiman umum daripada kompleks. Namanya selera, berbeda-beda untuk setiap orang. Apalagi dulu ada anggapan kalau penghuni kompleks lebih individualis dan enggan bersosialisasi.  Padahal belum tentu, tergantung karakter orangnya.


Lama menetap di pemukiman biasa, saya penasaran. Kayak apa, ya, tinggal di kompleks? Saya sering melihat brosur perumahan dengan seribu tanda tanya. Saat itu memang sedang tren pembagian brosur promo rumah. Jika mendapat brosur, saya cuma bisa memandanginya tanpa tahu kapan keinginannya terwujud. 


Kata orang, hati-hatilah mengungkapkan keinginan karena bisa menjadi kenyataan. Doa bukan harus diucapkan. Impian yang tersembunyi dalam hati pun bisa menjadi doa terselubung. Benar juga! Akhirnya, impian itu terwujud. Rumah yang berlokasi pada satu kompleks di pinggiran kota, telah siap dihuni. 


Singkat cerita, hampir dua puluh tahun berlalu dan sekarang saya sudah pindah dari rumah kompleks tersebut. Saya kembali lagi di pemukiman biasa seperti dulu. Lama menetap di kompleks, rasa penasaran saya telah terbayar lunas. Pemukiman di manapun lokasinya tetap ada kekurangan dan kelebihan. Kalau mau betah, beradaptasilah dan tata rumah kita senyaman mungkin. 



Belajar dari pengalaman, ada perbedaan memiliki rumah di kompleks dan pemukiman biasa. Perbedaan itu saya uraikan dalam tulisan berikut. Dengan catatan, point-point yang tertulis di sini hanya berupa garis besar, bukan kolektif untuk semua pemukiman. Karena setiap kompleks atau pemukiman berbeda, tergantung peraturan yang berlaku di tempat.

Kompleks Perumahan Vs  Pemukiman Biasa

Beberapa aspek perbedaan tinggal di kompleks perumahan dan pemukiman biasa, seperti :


¤ Harga Rumah Lebih Mahal

Benarkah harga rumah kompleks lebih mahal? Belum tentu, lho. Tak semua rumah kompleks pasti mahal. Tergantung situasinya. Lokasi di mana dulu? Luas rumah berapa? Model bangunan juga jadi pertimbangan. Pengembangnya siapa? Biasanya, semakin baik reputasi pengembang, semakin melejit harga properti. Jadi, kalau mau mendapat harga terjangkau, sering-seringlah mencari info pemasaran rumah.


Kompleks perumahan saya dulu terletak di pinggiran kota dan agak jauh dari jalan besar. Harganya cukup terjangkau oleh masyarakat awam. Meskipun di pinggiran, lokasinya berdekatan dengan pasar, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas penting lainnya. Jika mencari transportasi umum juga mudah. Pokoknya, amanlah untuk beraktivitas.


Saat kami pindah ke sana, lokasinya belum penuh penghuni. Sebagian areal masih berupa tanah kosong dan semak belukar. Tetangga yang sudah lama tinggal di sana pernah cerita, dulu mereka sering melihat ular melintas di depan rumah. Setelah agak ramai penghuni, perlahan hewan melata tersebut mulai lenyap. Namun, suaranya masih sering terdengar malam hari. Sayapun sering mendengarnya. Awalnya, saya kira suara kodok, ternyata ular. Hii ....


Kalau dulu kompleks itu sepi dan masih dikelilingi semak belukar, sekarang sudah berbeda 180°. Rumah-rumah bermunculan, tak ada tersisa tanah kosong. Suara hewan misterius pada malam hari mulai lenyap. Suasananya pun tidak seseram dulu. Konon, harga rumahnya sudah merangkak beberapa kali lipat. Bedalah dengan dua puluh tahun lalu.



¤ Fasilitas 

Umumnya, fasilitas di kompleks lebih lengkap daripada pemukiman biasa. Mungkin ini strategi pengembang agar dagangannya cepat laku. Pengembangan menyediakan kolam renang, jogging track, food court, hingga sarana lapangan olahraga, untuk menarik minat calon penghuni baru. 


Namun,  nggak semua kompleks menyediakan fasilitas lengkap. Saya sering melihat kompleks yang hanya menyediakan pemukiman, tanpa fasilitas tambahan. Hanya rumah semua sepanjang jalan. Walaupun begitu, tetap ada yang berminat membeli properti di sana. Toh, nggak masalah, kan, kalau penghuninya memang cuma mencari tempat tinggal tanpa embel-embel lain.


Jadi, jika berminat membeli rumah di kompleks, lihat dulu fasilitas yang ditawarkan. Sudah cocokkah dengan kebutuhan kita? Kalau boleh saran, pastikan fasilitasnya memang sudah final, bukan cuma janji seperti kampanye. Jangan sampai tergiur fasilitas yang belum jelas realisasinya.


Saya pernah mendengar cerita miris tentang obral janji dari pihak pengembangan pada calon pembeli. Kata mereka, akan dibangun fasilitas kolam renang dalam kompleks.  Asyik, kan? Tapi, begitu penghuninya sudah ramai, eh,  pembangunan kolam dibatalkan. Warga pun cuma bisa gigit jari. Jadi, hati-hatilah mendengar obralan janji.



¤ Luas Areal Lokasi

Lokasi kompleks biasanya sudah dibatasi dalam areal tertentu. Ada tembok yang memisahkannya dengan pemukiman luar. Meski demikian, tidak semua perumahan berukuran luas. Kompleks saya dulu termasuk luas karena terdiri dari lebih seratus rumah. Ada juga kompleks yang hanya membangun 20 rumah. Ukuran arealnya minimalis, masih lebih luas lagi lapangan sepak bola.


Sementara pemukiman biasa lokasinya nggak terbatas. Sepanjang mata memandang, pemukiman berjejer tanpa tepi. Perumahan warga hanya dipatok dengan RT/RW atau lingkungan. Nggak ada, tuh, tembok pembatas seperti yang kerap menandai lokasi kompleks. Kesannya pun lebih familiar, tidak eksklusif layaknya kompleks.


¤ Sosialisasi dan Interaksi

Ada yang bilang, interaksi di kompleks lebih individualis daripada warga di pemukiman biasanya. Belum tentu juga, tergantung karakter orangnya. Di pemukiman biasa pun ada warga yang tak saling mengenal dengan tetangga sebelah rumah. Umumnya, penduduk kota besar sering berkarakter demikian.


Saat masih tinggal di kompleks dulu, sering kok, diselenggarakan temu warga untuk membicarakan masalah-masalah krusial. Contohnya, warga setempat bersama-sama mencari solusi untuk pengadaan tukang sampah. 


Saat itu, sampah sering dibuang menumpuk di pinggiran lokasi. Warga sudah marah karena aromanya mulai mengganggu. Tenaga kebersihan belum ada pada saat itu. Biasanya kalau muncul masalah begini, langsung dibuat jadwal pertemuan.


Karena sering ada pertemuan, warga jadi saling mengenal. Apalagi jika rutin berseliweran di kompleks, ada saja yang menegur. Nah, kalau terus-menerus begini, bakalan jadi akrab, kan. Budaya kita begitu kali, ya. Karena sering ketemu, lama-lama malah jadi lebih dekat.


Beda dengan pemukiman biasa. Di sini, warga mengambil keputusan berdasarkan inisiatif. Kalau perlu tukang sampah, maka dicari sendiri. Semua sibuk dengan urusan pribadi, bahkan hampir tidak ada pertemuan antar warga. Cuma, tidak akrab bukan berarti acuh dan individualis. Kalau ada yang sakit atau perlu pertolongan mendesak, ada saja kok, yang mengulurkan bantuan.



Di pemukiman biasa, warga juga lebih bebas memilih aktivitasnya sendiri. Kalau ingin memelihara ayam, misalnya, oke-oke saja. Beda dengan di kompleks yang sering tertera peraturan hasil kesepakatan bersama. Di perumahan umumnya muncul peraturan yang melarang warganya memelihara ayam atau anjing. 


Di kompleks tempat saya dulu pernah ada yang memelihara ayam, walaupun kemudian sempat dikomplain warga. Sekarang sudah tak ada lagi yang memelihara unggas tersebut. Mungkin karena sudah tak sesuai lagi kondisi lingkungannya. 


Kalau anjing, walaupun sempat menjadi perdebatan, tapi masih ada yang memelihara. Katanya, untuk keamanan karena bisa menjaga rumah. Walaupun ada satpam, si kaki empat ini lebih sensitif merasakan aroma tamu tak diundang. Begitu alasannya. Atau yang bersangkutan memang suka dengan anjing? Hmm ....

¤ Biaya 

Kalau ingin tinggal di kompleks, siap-siaplah merogoh kocek lebih dalam. Ada biaya tambahan untuk fasilitas tertentu, seperti gaji tukang sampah atau petugas keamanan. Belum lagi kalau menyelenggarakan hajatan, misalnya kemeriahan 17-an. Untuk acara demikian, warga berinisiatif mengumpulkan dana guna mengadakan berbagai lomba.


Itu baru biaya dalam kompleks. Awal pindahan ke kompleks, saya sempat kaget melihat tagihan air yang melonjak drastis. Padahal, pemakaian sehari-hari normal saja dan tidak ada kabar kenaikan tarif dari pemerintah. Nggak terima tagihan melonjak, saya pun melapor ke instansi terkait.


Hasilnya? Saya masih ingat senyum-senyum petugas yang menerima komplain. Akhirnya, ketahuan kalau ada tarif khusus untuk warga perumahan. Karena dianggap dari kalangan mampu, maka tarif di kompleks agak lebih tinggi dari pemukiman biasa. Padahal belum tentu semua penghuninya mampu, kan. Ya, mau gimana lagi. Peraturan tetap peraturan.


Jadi, kalau ingin menetap di kompleks, jangan kaget melihat tarif listrik atau air lebih tinggi dari biasa. Ada subsidi silang antar warga, begitu istilahnya. Anggap sajalah saling membantu sebagai anggota masyarakat.


¤ Keamanan

Ini yang paling dicari warga yang tinggal di kompleks. Sekuriti merupakan fasilitas yang ditawarkan pengembang properti untuk menjamin keamanan penghuninya. Mulai dari petugas satpam, portal jalan, hingga CCTV atau kamera pengawas, siap mengamankan lokasi.



Cuma saran saya, walaupun sudah ada sekuriti dan kamera, tetaplah kunci pintu dan hindari meletakkan barang berharga sembarangan di depan rumah. Jika punya sepeda, angkat ke dalam rumah. Jangan lupa mengunci motor dan mobil. 


Tetap waspada menjaga rumah sendiri. Percayalah, maling sekarang lebih lihai dan tangkas daripada sekuriti. Saya melihat sendiri pengalaman tetangga  kemalingan ketika masih menetap di kompleks. Baru ditinggal sebentar, motor di depan rumah langsung raib.


¤ Pedagang Keliling 

Saat kembali pindah ke pemukiman biasa, saya sempat terkaget-kaget melihat beragam penjual keliling yang melintas depan rumah. Mulai dari penjual beragam makanan, air isi ulang, reperasi alat elektronik, goni botot (penjual barang bekas), ada saja berseliweran. Bukan hanya satu penjual, banyak bergantian setiap hari.


Di kompleks yang lama bukan tidak ada penjual keliling, tapi sangat terbatas. Orangnya yang itu-itu saja. Sebenarnya penjual makanan nggak dilarang masuk kompleks. Bebas saja selama tidak berbuat onar. Meskipun demikian, tetap nggak banyak pedagang yang mau melintas. Mungkin mereka agak ketar-ketir duluan melihat pak sekuriti.


Kalau goni botot, memang dilarang masuk kompleks. Dulu sempat diperbolehkan, sampai ada pedagangnya ketahuan nyolong dari CCTV. Sejak saat itu, semua goni botot dilarang. Inilah akibatnya kalau berani membuat masalah. Satu orang mengulah, semua kena getah. 


Untuk saya, goni botot ini termasuk penting. Dulu, saat masih langganan koran, bekas-bekasnya bisa dijual pada mereka. Apalagi kalau ada ember bocor dan alat elektronik rusak total. Lumayan ada recehan untuk membeli cemilan. Hehehe. Daripada rongsokannya jadi sarang tikus, mendingan dijual. Mumpung ada yang mau.


Makanya, waktu dilarang masuk kompleks, saya puyeng juga. Supaya tetap cair, jika sudah banyak loakan menumpuk di rumah, saya panggil tukang bototnya dari luar. Tentu setelah permisi duluan ke sekuriti. Kalau begini caranya, selalu dikasih izin, kok 


¤ Akses Terbatas

Agar kompleks tetap aman, umumnya nggak boleh sembarangan orang masuk ke perumahan. Walaupun tergantung juga dengan peraturan di lokasi karena tiap perumahan berbeda. Di kompleks saya dulu sebenarnya orang luar bebas berseliweran. Cuma, kalau gerak-geriknya agak mencurigakan pasti dipanggil sekuriti.


Meskipun bebas, nggak banyak orang luar mau melintas. Agak sepi di sana. Orang-orang yang lewat depan rumah, yaa ... tetangga-tetangga saya juga. Kalau orang baru biasanya sering kebingungan menyusuri jalan antar blok. Penyebabnya karena bentuk rumah-rumahnya agak mirip. Alhasil mereka sering muter-muter dan bolak-balik bertanya.


Sementara kalau di perumahan biasa, orang yang lewat beragam, selain penduduk setempat. Kadang kalau melintas orang tak dikenal sempat juga muncul pertanyaan di pikiran, siapa ini? Ada rasa waswas, tapi lama-lama jadi biasa. Orang lewat saja, kok, heboh. Apalagi, di tempat sekarang ada kos-kosan. Banyaklah teman mereka yang berseliweran bolak-balik setiap hari. Jadi, melihat orang melintas, biasa ajalah. 


Supaya aman, sebaiknya senantiasa jaga keamanan rumah masing-masing. Baik di kompleks maupun pemukiman biasa, kasus pencurian di rumah tetangga pernah terjadi. Kita sebagai penghuni hendaknya selalu waspada. Tetaplah mengunci pintu dan hati-hati dengan orang tak dikenal. 



Rumahku, Pilihanku

Kalau ditanya sekarang, mana yang lebih menyenangkan, tinggal di kompleks atau perumahan biasa? Jawabannya, tergantung. Asalkan lokasinya oke dan kita bisa beradaptasi, mudah-mudahan aman dan menyenangkan di rumah. 


Kalau sekitar dua puluh tahun lalu saya penasaran, gimana rasanya tinggal di kompleks? Setelah dijalani ternyata biasa saja. Point pentingnya, dimanapun lokasi rumah, tetap jaga dan rawat pemukiman kita dengan baik. Pemukiman terawat membuat kita nyaman dalam rumah.


Supaya nyaman, sebelum memilih kompleks atau pemukiman, sebaiknya riset dulu tentang lokasi incaran agar tak menyesal di kemudian hari. Paling penting, pastikan kalau lokasinya bebas genangan, apalagi seperti di kota saya yang langganan banjir. Sayang, kan, sudah capek-capek mengangkat barang, masih ketemu genangan air.


Soal keakraban dengan tetangga, menurut saya tergantung kita. Kalau karakternya supel, di manapun tentu mudah beradaptasi. Baru ngobrol sebentar, sudah mendapat teman baru. Jika memang hobi menyendiri dan jarang bersosialisasi, di kompleks pun tetap jadi pejuang tunggal.


Jadi, pilihlah pemukiman sesuai selera. Baik untuk orang lain, belum tentu pas untuk kita. Apalagi soal pemilihan rumah. Mau kompleks atau pemukiman biasa, nggak masalah asalkan aman dan nyaman bermukim di sana.


Rabu, 01 November 2023

Manfaat Steril Hewan untuk Anabul dan Pemiliknya


"Hewan itu bagian dari alam. Hidup, mati, atau berkembang biak, ya, sudah nasibnya. Kita manusia enggak bisa mencampuri. Apa? Hewan disteril? Ah, cuma buang-buang uang!"


Pernah dengar ucapan seperti di atas? 


Saya mempunyai dua ekor kucing betina yang sudah disteril sejak mereka berumur kira-kira setahun. Sebelum steril, rumah pernah ramai dengan anak kucing. Aroma sekitar rumah pun agak terganggu. Belum lagi perawatannya yang tidak murah. Jika menoleh ke belakang, saya sepakat kalau tindakan steril cocok untuk kami. 


Tindakan ini memang tidak hanya menguras kantong, tapi juga energi pemiliknya. Selama seminggu masa pemulihan setelah operasi, kesehatan anabul terus dipantau. Bekas sayatan pembedahan dipoles dengan salep anti luka demi mencegah infeksi. Untuk obat makan, mereka harus mengkonsumsi antibiotik setiap hari.


Masalahnya, kucing saya agak antipati dengan pengobatan. Anehnya, mereka tahu kapan jadwal obat diberikan. Biasanya kalau jadwal tiba, calon korban langsung sembunyi atau berpencar mencari tempat aman. Selama seminggu dalam proses pemulihan, ada adegan kejar-kejaran di rumah. Persis seperti film-film action Hollywood. Lumayan capek, tapi tak apa, yang penting mereka segera sembuh. 


Berat di awal, hingga kemudian dampaknya kelihatan untuk seumur hidup.  Rumah dan halaman sekarang tidak lagi bertebaran kotoran anak-anak kucing. Komplain dari tetangga pun mulai berkurang. Pemiliknya pun lebih tenang.


Dua warga oyen yang sudah disteril


Para indukan sudah aman dari penyakit reproduksi. Dulu sebelum disteril, ada kucing betina saya yang menderita infeksi rahim (pyometra). Saya terlambat mengetahuinya. Dia sempat kesakitan cukup lama. Kematian yang menghentikan penderitaannya.


Manfaat steril bukan cuma untuk kesehatan hewan peliharaan, tapi juga berdampak bagi pemiliknya. Setelah steril, rumah dijamin bebas dari ledakan penghuni baru. Lingkunganpun lebih bersih dari tebaran sisa pembuangan si kaki empat. 


Steril Hewan, Letih Sebentar untuk Dampak Seumur Hidup

Memelihara hewan di rumah ibarat mata uang dengan dua sisi. Ada cerita indah tentang tingkah polah mereka yang menggemaskan dan menghibur. Suasana rumah lebih ramai jika mereka lincah bermain. Apalagi kalau sudah akrab, anabul telah dianggap seperti anggota keluarga sendiri. 


Namun,  memelihara hewan bukan hanya cerita indah tanpa pengorbanan. Pemilik membutuhkan biaya yang tidak sedikit, terutama untuk pakannya.  Ini belum termasuk penanganan jika mereka sakit dan memerlukan jasa dokter hewan. 


Selain kesehatan, salah satu masalah klasik pada hewan adalah perkembangbiakan yang cepat. Kucing mampu beranak hampir setiap tahun. Hasilnya? Sekali beranak bisa lebih dari 3 ekor. Ribet, kan? Mau dipelihara semua,  kayaknya enggak mungkin. Dikasih orang, apalagi sampai dibuang?  Waduh,  janganlah. 


Ada solusi tepat untuk mengendalikan jumlah anabul. Steril (betina), kastrasi (jantan), atau dikebiri bisa menjadi pilihan agar jumlah hewan di rumah tidak bertambah. Walaupun menelan biaya yang relatif besar, tindakan ini hanya dilakukan sekali seumur hidup. Berbeda dengan vaksin yang rutin diberikan setiap sekali setahun. 


Steril anabul


Pro Kontra Steril Hewan

Walaupun kelihatan menjanjikan, tidak sedikit animal lover yang menolak mensteril hewan peliharaannya. Menurut mereka mensteril berarti melanggar hak hewan. Bertemu lawan jenis dan berkembang biak merupakan kebutuhan mereka yang tidak boleh dicampuri manusia.


Secara garis besar, ada lagi beberapa alasan pihak-pihak yang kontra pada tindakan steril,  yaitu. 


¤ Melanggar etika 

Orang yang pro steril dianggap seperti tuhan kecil yang mencoba mengatur alam. Hewan merupakan bagian alam dan berada di luar kendali manusia. Dengan steril, berarti manusia akan merusak keseimbangan alam.


Supaya lebih jelas, begini, ambil contoh kucing sebagai pemangsa tikus.  Kalau semua kucing disteril, maka jumlah keturunan mereka akan berkurang. Perkembangbiakan tikus tidak terkendali dan mengotori lingkungan. Benarkah demikian? Belum tentu. 


Pertama,  segencar apapun upaya mensteril kucing tetap ada yang lolos dari radar. Nggak semua,  kan,  kucing bisa ditangkap. Apalagi yang sejak kecil sudah liar. Mereka lincah melompat ke atap rumah, masuk ke selokan, serta menempuh berbagai cara lain untuk lolos dari cengkeraman manusia.  


Kedua,  nggak semua kucing doyan tikus.  Mayoritas kucing sekarang sudah canggih dan punya selera berkelas. Makanannya kalau enggak cat food, ya, sejenis ikan. Tikus  lewat hanya dipandangi tanpa reaksi. Mungkin karena bukan levelnya lagi. Malah ada kucing yang takut sama tikus. Nah!


Mau kediaman bebas tikus?  Ayo,  bersihkan rumah dari tumpukan barang. Tikus senang dengan tempat kotor. Satu lagi, coba tutup tempat-tempat yang jadi jalur hilir mudik tikus. Diperlukan upaya dari pemilik rumah agar mereka putar haluan.


Kucing dan tikus zaman now


¤ Keputusan Beresiko

Steril hewan berarti keputusan permanen seumur hidup. Apabila sudah dilakukan, tidak mungkin dikembalikan seperti semula. Pemilik beresiko menyesal mensteril hewan kesayangannya, kalau suatu hari nanti ingin memiliki anak dari anabul.


Kalau dibalikkan, gimana?  Pemilik menyesal,  kok, nggak dari dulu disteril?  Hewannya terus beranak dan keturunannya sudah menumpuk di rumah. Membuang,  nggak tega. Memelihara, nggak sanggup. Jadi serba salah. 


Kalau ingin memelihara lagi, kenapa nggak mengadopsi? Bukan cuma orang,  hewanpun ada yang  diadopsi.  Mereka bisa ditemukan pada shelter (penampungan) hewan, dipungut dari jalanan,  atau dihibahkan kenalan yang ogah memelihara hewan.  Dengan berbuat demikian, kita sudah menolong mereka yang tidak diinginkan. 


Penampungan (shelter) hewan


¤ Dampak Kesehatan 

Baik jantan atau betina, steril berarti pembedahan yang mengandung resiko. Ada kemungkinan terjadi infeksi, komplikasi, atau dampak kesehatan pada masa depan. Animal lover khawatir anabul akan menderita berkepanjangan akibat steril.


Sebenarnya, ada solusi dari kekhawatiran ini. Dokter bisa mengetahui kondisi hewan kesayangan melalui medical check-up.  Yap,  hewan pun bisa dipantau kesehatannya melalui check-up rutin. Pemilik tinggal menyiapkan biaya tambahan. 


Supaya lebih tenang lagi, pilihlah dokter hewan yang reputasi dan pengalamannya sudah oke. Cari informasi dari sumber-sumber terpercaya. Anabul akan aman ditangani oleh profesional. 


¤ Perubahan Karakter Hewan 

Hewan yang sudah disteril umumnya berkarakter tenang dan kurang agresif. Mereka lebih sering tidur di rumah, jarang keluyuran, karena sudah tidak mencari lawan jenis lagi. Tubuhnya lebih gemuk disebabkan perubahan hormon. 


Untuk sebagian pemilik hewan, karakter demikian jadi kurang menarik. Anabul kesayangan sudah malas bergerak dan pasif.  Tidak ada lagi pemandangan hewan kejar-kejaran di sekitar rumah. Mungkin bagi mereka agak membosankan.


Apa nggak  lebih baik begitu? Hewan yang sering keluyuran justru membahayakan jiwa mereka sendiri. Korban tabrakan, dipukul orang, atau terluka akibat diserang hewan lain, bisa dicegah jika mereka lebih sering di rumah. Resiko terluka mampu diminimalisir.

Anabul terluka


Situasi lingkungan pun lebih aman dan tenteram. Pernah melihat kucing yang berkelahi pas musim kawin? Suaranya mengalahkan dentuman musik hajatan dangdut. Ribut semalaman. Beda kalau sudah disteril. Rumah pun lebih tenang karena si kaki empat  sudah selesai dengan hasratnya. 


Alasan-alasan yang dikemukakan di atas sebenarnya cukup masuk akal. Hanya saja, kalau tetap bertahan dan menolak, sudah siapkah dengan resikonya? Mau dikemanakan anak-anak yang terus lahir?  Kalau ada yang  menampung,  baguslah.  Kalau tidak,  apa nasib mereka akan berakhir di jalanan? 


Daripada terus membahas kontranya,  yuk, kita bandingkan dengan manfaat steril bagi hewan kesayangan. 


Manfaat Steril untuk Hewan dan Pemiliknya 

Banyak yang menolak steril hewan karena tindakan ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Jika biaya masih memberatkan, coba cari informasi tentang dokter hewan yang bersedia memberikan subsidi. 


Biasanya di setiap kota, ada dokter hewan yang berdedikasi pada  pengadaan steril dengan biaya  terjangkau. Soal kualitas, mereka nggak diragukan. Saya pernah mendengar dokter hewan dengan reputasi oke, tapi bersedia memberi subsidi steril dengan harga terjangkau. Para animal lover umumnya tahu informasi valid tentang dokter-dokter ini.


Nah, kalau memang memungkinkan, kenapa enggak diupayakan segera mensteril hewan kesayangan?  Manfaat steril bukan hanya untuk anabul, tapi juga pemiliknya.  Apa saja manfaatnya?


■ Menekan Populasi 

Jumlah hewan terlantar yang  berkeliaran di jalanan bisa ditekan melalui tindakan steril. Pernah nggak merasa risih, ketika sedang makan di suatu tempat, tiba-tiba melihat kucing-kucing liar menunggu di luar?  

Steril untuk mencegah over populasi


Bagi pengunjung yang bukan penyayang hewan,  pemandangan tersebut agak mengganggu. Apalagi jika mereka  mendekati meja tempat pengunjung bersantap. Kemudian, menunggu pula di  bawah dengan sabar. Orang-orang tersebut mungkin merasa agak geli. 


Sementara untuk yang iba, nggak mungkin kucing segitu banyak  dibawa pulang. Biasanya ada pengunjung yang memberikan sisa makanan. Memberi makan sebenarnya tidak terlalu  menolong.  Kelak mereka akan beranak-pinak terus dan membawa hewan liar baru. 


TNR (Trap, Neuter, and Release) atau tangkap, steril, dan lepaskan, merupakan upaya dari kelompok pencinta hewan untuk mengatasi ledakan populasi terlantar. Biasanya, hewan ini ditangkap di area publik. Setelah disteril di klinik dan lukanya sembuh, mereka akan dikembalikan ke tempat asal. 


Kalau organisasi pencinta hewan peduli dan ikut mensteril anabul liar, bagaimana dengan kita yang memiliki peliharaan di rumah?


■ Mencegah Penyakit Reproduksi

Steril pada hewan betina akan mencegah mereka terkena kanker rahim dan kanker ovarium, terutama saat usia lanjut. Steril juga mencegah infeksi rahim. Persis dengan yang dialami kucing saya dulu. 


Dengan steril, harapan hidup anabul lebih panjang karena terhindar dari penyakit mematikan. Nyawa memang rahasia Sang Pencipta. Meski demikian, manusia sebaiknya tetap berusaha, termasuk menjaga agar hewan kesayangan agar panjang umur.


■ Hewan Lebih Bersih dan Tidak Agresif

Kenapa hewan peliharaan tampak dekil? Biasanya karena kurang perawatan karena pemiliknya jarang memandikan. Namun, walaupun sering dimandikan, tapi kalau tetap keluyuran, sama saja. Debu jalanan, lumpur, dan beragam kotoran lain melekat di tubuh mereka.

Hewan bersih dan terawat


Beda kalau sudah disteril. Mereka lebih betah di rumah dan tidak keluyuran pada musim kawin. Soal agresif, sebenarnya, hewan disterilpun masih bisa berkelahi kalau jumpa tandingan sejenis kelamin. Hanya saja, kalau lebih sering di dalam rumah, peluang bertemu dengan hewan lain lebih tipis.


■ Rumah Lebih Bersih dan Terawat

Mempunyai anak hewan memang menggemaskan. Posturnya mungil ibarat boneka hidup yang menggeliat jika digendong. Mereka mahluk-mahluk lucu yang membuat rumah lebih meriah.


Walau cuma sebentar.


Begitu mereka sudah agak besar, mahluk-mahluk mungil itu mulai bebas berkeliaran. Bukan hanya bermain, mereka juga sering buang air sembarangan. Kebayang aromanya? Iya kalau cuma di halaman. Gimana jika ada yang sempat masuk ke rumah?


Steril berarti bebas dari anak-anak kaki empat yang terus bertambah. Mencegah dengan steril merupakan cara yang tepat agar anabul dan pemiliknya tetap nyaman dan bersih di rumah. Kalau pemukiman bersih, penghuninya lebih sehat karena terhindar dari bakteri yang melekat pada pembuangan hewan.


Walaupun menggemaskan, tapi kalau sudah kebanyakan, maka anabul rentan membuat pemiliknya puyeng. Mau dipelihara semua, gimana nanti mengurusnya? Belum lagi lirik kicauan tetangga  seperti mengiris daun telinga. Jalan terbaik, ya, dicari lokasi baru untuk mereka. 

Hewan terlantar


Jika beruntung, ada orang yang bersedia menampung. Jika tidak, biasanya nasib mereka berakhir dalam kardus yang diletakkan di pinggir jalan atau pasar. Kasihan, sudah nyaman tinggal di rumah, sekarang harus berakhir sebagai hewan liar di jalanan. 


Menyingkirkan hewan ke jalanan bukan solusi. Di sana mereka dicengkeram hukum rimba, serta berkembang biak secara tidak terkendali. Over populasi tinggal menunggu waktu. Belum lagi ancaman rabies yang menular dan bisa menyebabkan kematian pada manusia. 


Steril Hewan untuk Lingkungan yang Lebih Bersih 

Hewan dan tingkah lakunya memang menggemaskan. Tidak sedikit orang menjadikan mereka teman di rumah. Bahkan,  saya pernah membaca artikel tentang hewan yang bisa menjadi terapi untuk orang berkebutuhan khusus. 


Akan tetapi, jika jumlahnya terlalu banyak, mereka pun bisa meresahkan masyarakat. Berkelahi di jalanan, buang air sembarangan, memakan sampah yang berserakan, menjadi pemandangan menjengkelkan. 


Steril merupakan pilihan untuk mengendalikan populasi mereka, termasuk yang dipelihara di rumah. Tindakan ini dilakukan bukan karena manusia ingin memusnahkan hewan-hewan tersebut. Pilihan ini dilakukan karena kepedulian agar mereka jangan sampai terlantar. Semakin terkendali populasinya,  semakin mudah mengurusnya. 


Kalaupun ada yang kontra dengan steril hewan, hargai opininya. Mungkin ada alasan tertentu hingga mereka tetap kukuh pada pendirian. Namun, bagi saya steril tetap merupakan solusi terbaik untuk kesejahteraan hewan dan pemiliknya.


Jika program steril hewan berkesinambungan, saya harap kelak tiada lagi mahluk berkaki empat  terlantar di jalanan.



Referensi Foto :

Dok. Pribadi, Canva, Pixalab, Pexel




Menikmati Makanan Tradisional Ikan Sulung-sulung pada Akhir Pekan

Ingin mencoba masakan tradisional berbahan ikan mungil yang unik? Suka dengan racikan bercita rasa pedas? Kalau berkunjung ke Medan, bolehla...