Langsung ke konten utama

Ini Perbedaan Kompleks Perumahan dan Pemukiman Biasa

Kompleks Perumahan

Awal tahun 2005 menjadi saat mengesankan bagi saya. Berbarengan dengan pergantian tahun, keluarga kami pindah dari rumah yang berlokasi di pemukiman biasa ke kompleks perumahan. 


Sejak kecil, saya dan keluarga selalu tinggal di pemukiman biasa. Orang tua lebih suka tinggal di lokasi pemukiman umum daripada kompleks. Namanya selera, berbeda-beda untuk setiap orang. Apalagi dulu ada anggapan kalau penghuni kompleks lebih individualis dan enggan bersosialisasi.  Padahal belum tentu, tergantung karakter orangnya.


Lama menetap di pemukiman biasa, saya penasaran. Kayak apa, ya, tinggal di kompleks? Saya sering melihat brosur perumahan dengan seribu tanda tanya. Saat itu memang sedang tren pembagian brosur promo rumah. Jika mendapat brosur, saya cuma bisa memandanginya tanpa tahu kapan keinginannya terwujud. 


Kata orang, hati-hatilah mengungkapkan keinginan karena bisa menjadi kenyataan. Doa bukan harus diucapkan. Impian yang tersembunyi dalam hati pun bisa menjadi doa terselubung. Benar juga! Akhirnya, impian itu terwujud. Rumah yang berlokasi pada satu kompleks di pinggiran kota, telah siap dihuni. 


Singkat cerita, hampir dua puluh tahun berlalu dan sekarang saya sudah pindah dari rumah kompleks tersebut. Saya kembali lagi di pemukiman biasa seperti dulu. Lama menetap di kompleks, rasa penasaran saya telah terbayar lunas. Pemukiman di manapun lokasinya tetap ada kekurangan dan kelebihan. Kalau mau betah, beradaptasilah dan tata rumah kita senyaman mungkin. 



Belajar dari pengalaman, ada perbedaan memiliki rumah di kompleks dan pemukiman biasa. Perbedaan itu saya uraikan dalam tulisan berikut. Dengan catatan, point-point yang tertulis di sini hanya berupa garis besar, bukan kolektif untuk semua pemukiman. Karena setiap kompleks atau pemukiman berbeda, tergantung peraturan yang berlaku di tempat.

Kompleks Perumahan Vs  Pemukiman Biasa

Beberapa aspek perbedaan tinggal di kompleks perumahan dan pemukiman biasa, seperti :


¤ Harga Rumah Lebih Mahal

Benarkah harga rumah kompleks lebih mahal? Belum tentu, lho. Tak semua rumah kompleks pasti mahal. Tergantung situasinya. Lokasi di mana dulu? Luas rumah berapa? Model bangunan juga jadi pertimbangan. Pengembangnya siapa? Biasanya, semakin baik reputasi pengembang, semakin melejit harga properti. Jadi, kalau mau mendapat harga terjangkau, sering-seringlah mencari info pemasaran rumah.


Kompleks perumahan saya dulu terletak di pinggiran kota dan agak jauh dari jalan besar. Harganya cukup terjangkau oleh masyarakat awam. Meskipun di pinggiran, lokasinya berdekatan dengan pasar, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas penting lainnya. Jika mencari transportasi umum juga mudah. Pokoknya, amanlah untuk beraktivitas.


Saat kami pindah ke sana, lokasinya belum penuh penghuni. Sebagian areal masih berupa tanah kosong dan semak belukar. Tetangga yang sudah lama tinggal di sana pernah cerita, dulu mereka sering melihat ular melintas di depan rumah. Setelah agak ramai penghuni, perlahan hewan melata tersebut mulai lenyap. Namun, suaranya masih sering terdengar malam hari. Sayapun sering mendengarnya. Awalnya, saya kira suara kodok, ternyata ular. Hii ....


Kalau dulu kompleks itu sepi dan masih dikelilingi semak belukar, sekarang sudah berbeda 180°. Rumah-rumah bermunculan, tak ada tersisa tanah kosong. Suara hewan misterius pada malam hari mulai lenyap. Suasananya pun tidak seseram dulu. Konon, harga rumahnya sudah merangkak beberapa kali lipat. Bedalah dengan dua puluh tahun lalu.



¤ Fasilitas 

Umumnya, fasilitas di kompleks lebih lengkap daripada pemukiman biasa. Mungkin ini strategi pengembang agar dagangannya cepat laku. Pengembangan menyediakan kolam renang, jogging track, food court, hingga sarana lapangan olahraga, untuk menarik minat calon penghuni baru. 


Namun,  nggak semua kompleks menyediakan fasilitas lengkap. Saya sering melihat kompleks yang hanya menyediakan pemukiman, tanpa fasilitas tambahan. Hanya rumah semua sepanjang jalan. Walaupun begitu, tetap ada yang berminat membeli properti di sana. Toh, nggak masalah, kan, kalau penghuninya memang cuma mencari tempat tinggal tanpa embel-embel lain.


Jadi, jika berminat membeli rumah di kompleks, lihat dulu fasilitas yang ditawarkan. Sudah cocokkah dengan kebutuhan kita? Kalau boleh saran, pastikan fasilitasnya memang sudah final, bukan cuma janji seperti kampanye. Jangan sampai tergiur fasilitas yang belum jelas realisasinya.


Saya pernah mendengar cerita miris tentang obral janji dari pihak pengembangan pada calon pembeli. Kata mereka, akan dibangun fasilitas kolam renang dalam kompleks.  Asyik, kan? Tapi, begitu penghuninya sudah ramai, eh,  pembangunan kolam dibatalkan. Warga pun cuma bisa gigit jari. Jadi, hati-hatilah mendengar obralan janji.



¤ Luas Areal Lokasi

Lokasi kompleks biasanya sudah dibatasi dalam areal tertentu. Ada tembok yang memisahkannya dengan pemukiman luar. Meski demikian, tidak semua perumahan berukuran luas. Kompleks saya dulu termasuk luas karena terdiri dari lebih seratus rumah. Ada juga kompleks yang hanya membangun 20 rumah. Ukuran arealnya minimalis, masih lebih luas lagi lapangan sepak bola.


Sementara pemukiman biasa lokasinya nggak terbatas. Sepanjang mata memandang, pemukiman berjejer tanpa tepi. Perumahan warga hanya dipatok dengan RT/RW atau lingkungan. Nggak ada, tuh, tembok pembatas seperti yang kerap menandai lokasi kompleks. Kesannya pun lebih familiar, tidak eksklusif layaknya kompleks.


¤ Sosialisasi dan Interaksi

Ada yang bilang, interaksi di kompleks lebih individualis daripada warga di pemukiman biasanya. Belum tentu juga, tergantung karakter orangnya. Di pemukiman biasa pun ada warga yang tak saling mengenal dengan tetangga sebelah rumah. Umumnya, penduduk kota besar sering berkarakter demikian.


Saat masih tinggal di kompleks dulu, sering kok, diselenggarakan temu warga untuk membicarakan masalah-masalah krusial. Contohnya, warga setempat bersama-sama mencari solusi untuk pengadaan tukang sampah. 


Saat itu, sampah sering dibuang menumpuk di pinggiran lokasi. Warga sudah marah karena aromanya mulai mengganggu. Tenaga kebersihan belum ada pada saat itu. Biasanya kalau muncul masalah begini, langsung dibuat jadwal pertemuan.


Karena sering ada pertemuan, warga jadi saling mengenal. Apalagi jika rutin berseliweran di kompleks, ada saja yang menegur. Nah, kalau terus-menerus begini, bakalan jadi akrab, kan. Budaya kita begitu kali, ya. Karena sering ketemu, lama-lama malah jadi lebih dekat.


Beda dengan pemukiman biasa. Di sini, warga mengambil keputusan berdasarkan inisiatif. Kalau perlu tukang sampah, maka dicari sendiri. Semua sibuk dengan urusan pribadi, bahkan hampir tidak ada pertemuan antar warga. Cuma, tidak akrab bukan berarti acuh dan individualis. Kalau ada yang sakit atau perlu pertolongan mendesak, ada saja kok, yang mengulurkan bantuan.



Di pemukiman biasa, warga juga lebih bebas memilih aktivitasnya sendiri. Kalau ingin memelihara ayam, misalnya, oke-oke saja. Beda dengan di kompleks yang sering tertera peraturan hasil kesepakatan bersama. Di perumahan umumnya muncul peraturan yang melarang warganya memelihara ayam atau anjing. 


Di kompleks tempat saya dulu pernah ada yang memelihara ayam, walaupun kemudian sempat dikomplain warga. Sekarang sudah tak ada lagi yang memelihara unggas tersebut. Mungkin karena sudah tak sesuai lagi kondisi lingkungannya. 


Kalau anjing, walaupun sempat menjadi perdebatan, tapi masih ada yang memelihara. Katanya, untuk keamanan karena bisa menjaga rumah. Walaupun ada satpam, si kaki empat ini lebih sensitif merasakan aroma tamu tak diundang. Begitu alasannya. Atau yang bersangkutan memang suka dengan anjing? Hmm ....

¤ Biaya 

Kalau ingin tinggal di kompleks, siap-siaplah merogoh kocek lebih dalam. Ada biaya tambahan untuk fasilitas tertentu, seperti gaji tukang sampah atau petugas keamanan. Belum lagi kalau menyelenggarakan hajatan, misalnya kemeriahan 17-an. Untuk acara demikian, warga berinisiatif mengumpulkan dana guna mengadakan berbagai lomba.


Itu baru biaya dalam kompleks. Awal pindahan ke kompleks, saya sempat kaget melihat tagihan air yang melonjak drastis. Padahal, pemakaian sehari-hari normal saja dan tidak ada kabar kenaikan tarif dari pemerintah. Nggak terima tagihan melonjak, saya pun melapor ke instansi terkait.


Hasilnya? Saya masih ingat senyum-senyum petugas yang menerima komplain. Akhirnya, ketahuan kalau ada tarif khusus untuk warga perumahan. Karena dianggap dari kalangan mampu, maka tarif di kompleks agak lebih tinggi dari pemukiman biasa. Padahal belum tentu semua penghuninya mampu, kan. Ya, mau gimana lagi. Peraturan tetap peraturan.


Jadi, kalau ingin menetap di kompleks, jangan kaget melihat tarif listrik atau air lebih tinggi dari biasa. Ada subsidi silang antar warga, begitu istilahnya. Anggap sajalah saling membantu sebagai anggota masyarakat.


¤ Keamanan

Ini yang paling dicari warga yang tinggal di kompleks. Sekuriti merupakan fasilitas yang ditawarkan pengembang properti untuk menjamin keamanan penghuninya. Mulai dari petugas satpam, portal jalan, hingga CCTV atau kamera pengawas, siap mengamankan lokasi.



Cuma saran saya, walaupun sudah ada sekuriti dan kamera, tetaplah kunci pintu dan hindari meletakkan barang berharga sembarangan di depan rumah. Jika punya sepeda, angkat ke dalam rumah. Jangan lupa mengunci motor dan mobil. 


Tetap waspada menjaga rumah sendiri. Percayalah, maling sekarang lebih lihai dan tangkas daripada sekuriti. Saya melihat sendiri pengalaman tetangga  kemalingan ketika masih menetap di kompleks. Baru ditinggal sebentar, motor di depan rumah langsung raib.


¤ Pedagang Keliling 

Saat kembali pindah ke pemukiman biasa, saya sempat terkaget-kaget melihat beragam penjual keliling yang melintas depan rumah. Mulai dari penjual beragam makanan, air isi ulang, reperasi alat elektronik, goni botot (penjual barang bekas), ada saja berseliweran. Bukan hanya satu penjual, banyak bergantian setiap hari.


Di kompleks yang lama bukan tidak ada penjual keliling, tapi sangat terbatas. Orangnya yang itu-itu saja. Sebenarnya penjual makanan nggak dilarang masuk kompleks. Bebas saja selama tidak berbuat onar. Meskipun demikian, tetap nggak banyak pedagang yang mau melintas. Mungkin mereka agak ketar-ketir duluan melihat pak sekuriti.


Kalau goni botot, memang dilarang masuk kompleks. Dulu sempat diperbolehkan, sampai ada pedagangnya ketahuan nyolong dari CCTV. Sejak saat itu, semua goni botot dilarang. Inilah akibatnya kalau berani membuat masalah. Satu orang mengulah, semua kena getah. 


Untuk saya, goni botot ini termasuk penting. Dulu, saat masih langganan koran, bekas-bekasnya bisa dijual pada mereka. Apalagi kalau ada ember bocor dan alat elektronik rusak total. Lumayan ada recehan untuk membeli cemilan. Hehehe. Daripada rongsokannya jadi sarang tikus, mendingan dijual. Mumpung ada yang mau.


Makanya, waktu dilarang masuk kompleks, saya puyeng juga. Supaya tetap cair, jika sudah banyak loakan menumpuk di rumah, saya panggil tukang bototnya dari luar. Tentu setelah permisi duluan ke sekuriti. Kalau begini caranya, selalu dikasih izin, kok 


¤ Akses Terbatas

Agar kompleks tetap aman, umumnya nggak boleh sembarangan orang masuk ke perumahan. Walaupun tergantung juga dengan peraturan di lokasi karena tiap perumahan berbeda. Di kompleks saya dulu sebenarnya orang luar bebas berseliweran. Cuma, kalau gerak-geriknya agak mencurigakan pasti dipanggil sekuriti.


Meskipun bebas, nggak banyak orang luar mau melintas. Agak sepi di sana. Orang-orang yang lewat depan rumah, yaa ... tetangga-tetangga saya juga. Kalau orang baru biasanya sering kebingungan menyusuri jalan antar blok. Penyebabnya karena bentuk rumah-rumahnya agak mirip. Alhasil mereka sering muter-muter dan bolak-balik bertanya.


Sementara kalau di perumahan biasa, orang yang lewat beragam, selain penduduk setempat. Kadang kalau melintas orang tak dikenal sempat juga muncul pertanyaan di pikiran, siapa ini? Ada rasa waswas, tapi lama-lama jadi biasa. Orang lewat saja, kok, heboh. Apalagi, di tempat sekarang ada kos-kosan. Banyaklah teman mereka yang berseliweran bolak-balik setiap hari. Jadi, melihat orang melintas, biasa ajalah. 


Supaya aman, sebaiknya senantiasa jaga keamanan rumah masing-masing. Baik di kompleks maupun pemukiman biasa, kasus pencurian di rumah tetangga pernah terjadi. Kita sebagai penghuni hendaknya selalu waspada. Tetaplah mengunci pintu dan hati-hati dengan orang tak dikenal. 



Rumahku, Pilihanku

Kalau ditanya sekarang, mana yang lebih menyenangkan, tinggal di kompleks atau perumahan biasa? Jawabannya, tergantung. Asalkan lokasinya oke dan kita bisa beradaptasi, mudah-mudahan aman dan menyenangkan di rumah. 


Kalau sekitar dua puluh tahun lalu saya penasaran, gimana rasanya tinggal di kompleks? Setelah dijalani ternyata biasa saja. Point pentingnya, dimanapun lokasi rumah, tetap jaga dan rawat pemukiman kita dengan baik. Pemukiman terawat membuat kita nyaman dalam rumah.


Supaya nyaman, sebelum memilih kompleks atau pemukiman, sebaiknya riset dulu tentang lokasi incaran agar tak menyesal di kemudian hari. Paling penting, pastikan kalau lokasinya bebas genangan, apalagi seperti di kota saya yang langganan banjir. Sayang, kan, sudah capek-capek mengangkat barang, masih ketemu genangan air.


Soal keakraban dengan tetangga, menurut saya tergantung kita. Kalau karakternya supel, di manapun tentu mudah beradaptasi. Baru ngobrol sebentar, sudah mendapat teman baru. Jika memang hobi menyendiri dan jarang bersosialisasi, di kompleks pun tetap jadi pejuang tunggal.


Jadi, pilihlah pemukiman sesuai selera. Baik untuk orang lain, belum tentu pas untuk kita. Apalagi soal pemilihan rumah. Mau kompleks atau pemukiman biasa, nggak masalah asalkan aman dan nyaman bermukim di sana.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Ketika Konten Blog Menggeser Sistem Marketing Jadul

Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas  berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya. "Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri. Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu. Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen.  Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin. Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng. Jawaban orang tua