Langsung ke konten utama

Pahlawan Literasi dan Generasi Muda Gemar Membaca

 


Toko buku ternama itu sedang ramai saat saya datang. Maklumlah, akhir pekan. Banyak orang mengisi waktu luang di luar rumah, termasuk di tempat ini. Meskipun gawai sedang naik daun, peminat buku masih tetap ada.


Saat sedang membaca sinopsis novel, seorang anak muncul tepat di samping saya. Usianya sekitar 10 tahun. Dengan wajah ceria, dia menatap sekumpulan komik anak yang tersusun rapi di meja depannya. Kemudian, tangan mungil itu meraih sebuah buku bersampul salah satu tokoh kartun.


“Ma, boleh beli buku ini?” Dia bertanya pada seorang wanita muda yang berdiri di belakangnya.


Di luar dugaan saya, wanita itu mengambil paksa buku tersebut dari tangan anaknya dan mengembalikannya ke meja. Seketika air muka bocah itu berubah seperti bingung, apalagi ketika dia diajak menjauh dari komik favoritnya.


“Jangan pegang buku itu! Ayo, ikut!” Mamanya menarik tangan bocah yang segera ikut beranjak dengan wajah cemberut.

Adegan itu sempat membuyarkan konsentrasi saya membaca. Karena saya tidak mengenal mereka, jadi sebaiknya tidak perlu turut campur. Cuma, agak tertegun juga melihat reaksi Mamanya. Membaca kegiatan bermanfaat, kenapa tidak menyokong anak yang gemar buku?


Sebenarnya, kurang pas kalau saya menilai hanya dari tampilan luar saja. Mungkin Mama sedang menghemat anggaran dan buku bukan termasuk prioritas mereka. Bagi keluarganya, ada yang lebih penting dari sekadar membeli buku. Cuma, saya tetap menyayangkan. Enggak mudah, lho, menumbuhkan minat baca pada generasi muda.


Melihat mereka, ingatan saya kembali ke masa kanak-kanak dulu. Orang tua tidak pernah kelebihan uang, tapi saya diperbolehkan sesekali membeli beberapa buku cerita. Biasanya kami membeli buku saat liburan atau pertengahan semester, ketika lagi suntuk-suntuknya mengerjakan tugas sekolah. Bacaan fiksi tersebut menjadi jeda sejenak dari kesibukan belajar.


Dengan menoleh kembali ke masa lampau, saya mengingat banyak manfaat yang diperoleh anak yang hobi membaca buku cerita.


  • Mudah Membaca Buku Pelajaran

Buku cerita fiksi tentu berbeda dengan buku pelajaran yang bersifat ilmiah. Tetapi, fokusnya tetap sama, yaitu membaca. Kalau sudah terbiasa menelaah beragam buku, tidak sulit lagi menyimak materi pelajaran. Membaca beragam tulisan bukan lagi terpaksa atau kewajiban, tapi sudah menjadi rutinitas. Jadi, belajar pun sudah ikhlas, tidak perlu lagi dipaksakan. Jadi, yuk, biasakan anak, ponakan, atau adik membaca sejak dini.

  • Memiliki Banyak Kosa Kata

Banyak membaca menyebabkan pembaca memiliki beragam pilihan kosa yang diserap dari buku. Saya ingat dulu saat ujian bahasa di sekolah, guru memberikan soal tentang sinonim kata yang jarang terdengar. Karena sudah biasa membaca, mudah saja saya menjawabnya dan benar pula.


Selain membantu menjawab soal ujian, dengan memiliki banyak kosa kata saya lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain. Mampu berkomunikasi dengan baik akan meminimalisir kesalahpahaman. Kefasihan ini dibangun sejak kecil dan manfaatnya terlihat setelah dewasa. Jadi, membaca ibarat investasi ilmu. Hasilnya baru kelihatan bertahun-tahun kemudian.


  • Imajinatif

Ada yang hobi menulis cerita fiksi? Dulu di sekolah, setiap minggu pasti ada pelajaran mengarang dari guru bahasa. Mengarang itu bukan sekadar menulis cerita, tapi menemukan ide cerita menarik yang tidak pasaran. Semakin banyak membaca, semakin mudah menemukan ide menulis. Tugas dari guru pun bisa diselesaikan dengan baik.


  • Menambah Teman

Saat masih SD, koleksi buku saya sering dipinjam oleh teman-teman sekelas. Terkadang mereka bergiliran membacanya. Ada suka duka meminjamkan buku dengan kawan. Sukanya, saya jadi punya banyak teman. Dukanya, buku yang saya pinjamkan dalam keadaan bagus, sering kembali dalam bentuk kusut. Kalau diberitahu, sebagian mengerti. Tetapi, ada juga yang tidak peduli. Namanya berteman, beragam karakter mereka.


Namun, kalau sekarang ketemu sama mereka, beberapa orang mengingat hobi serta koleksi buku saya.

“Oya, ini Friska yang punya banyak buku cerita itu, kan?”


Wah, boleh juga, nih. Personal branding-nya dibentuk dari buku cerita. Hahaha.


Saya sering bertanya sama teman yang meminjam buku, kenapa tidak minta dibelikan sama orang tua. Padahal, banyak dari mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan.


Kebanyakan teman menjawab kalau orang tua mereka tidak memperbolehkan membeli buku. Entah apa alasannya, kami sebagai anak tak pernah tahu. Situasi setiap keluarga tentu berbeda. Pola pikir setiap orang tua tidaklah sama.


Hanya saja, dalam lingkungan yang kurang mendukung minat membaca, sulit mengharapkan tingkat literasi bangsa kita akan meningkat. Walaupun jarang dibahas, tingkat literasi penting untuk mengukur kualitas masyarakat. Apa sebenarnya definisi literasi dan kaitannya dengan membaca?


Literasi memiliki makna yang lebih luas dari sekadar membaca. Menurut KBBI, literasi merupakan kemampuan menulis dan membaca, pengetahuan serta keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu, seperti komputer. Kemudian, literasi juga dihubungkan dengan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.


Kesimpulannya, literasi bukan hanya membaca huruf demi huruf, tapi mahir untuk memahami makna dan pesan yang disampaikan penulis. Setelah memahami isi tulisan, individu tersebut mampu menyampaikan ide wawasannya dengan bahasa yang baik, benar, dan terstruktur. Jadi, bahan bacaan bukan menumpang lewat saja, tapi mampu memberi makna dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hidup


Bagaimana tingkat literasi bangsa kita? Menurut data dari Perpustakaan Nasional, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Indonesia tahun 2022 berada pada angka 64,48 dari skala 100. Artinya, kemampuan membaca dan memahami tulisan bangsa kita masih berada pada tingkat menengah dan perlu ditingkatkan. Jadi, jangan puas dengan angka yang tertera. Upayakan terus meningkatkan literasi anak bangsa.

Laporan dari UNESCO lebih memprihatinkan lagi. Menurut organisasi pendidikan global tersebut, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, yaitu hanya 0,001 %. Angka ini menjelaskan kalau dari 1.000 penduduk Indonesia, hanya 1 orang yang hobi membaca. Berapa kira-kira penduduk satu RT? Jika cuma sekitar 200 – 300 orang, masih ada yang hobi membaca? Yuk, cek tetangga masing-masing.

Dalam situasi demikian, apakah kita langsung menyerah dan menerima nasib? Janganlah! Memang tiada cara instan untuk meningkatkan budaya literasi, apalagi jika lingkungan kurang menyokong kebiasaan membaca. Tetapi, bukan berarti kita tidak berusaha, kan? Bagaimana nanti masa depan ilmu dan wawasan generasi muda jika mereka enggan membaca.


Tahukah kalau masih banyak orang yang peduli dengan tingkat literasi bangsa kita? Mereka bekerja pada bidang pendidikan, melatih generasi muda membaca, penulis buku, menyediakan akses perpustakaan, hingga menyebarkan buku. Semua demi menularkan minat membaca, terutama untuk anak-anak. Tanpa lampu sorotan, para pahlawan literasi ini mampu menyebarkan virus positif dari manfaat membaca. Siapa saja mereka?


Pahlawan Literasi, Upaya Anak Bangsa untuk Masyarakat

Pada zaman sebelum kemerdekaan, kita mengenal tokoh-tokoh nasional yang berjasa pada bidang pendidikan. Ki Hajar Dewantara, Moh. Hatta, R. A. Kartini, serta Dewi Sartika, merupakan sosok-sosok teladan yang memberikan kontribusi pada kemajuan pendidikan tanah air. Di bawah tekanan penjajahan, mereka tetap teguh dan mampu membuat perbedaan. Bagaimana dengan kita yang sudah menghirup udara kemerdekaan?


Tidak perlu menjadi pahlawan nasional untuk ikut melestarikan budaya literasi. Kita yang hanya rakyat biasa pun mampu menyebarkan pengaruh gemar membaca. Ada beragam profesi ataupun aktivitas yang mendukung budaya literasi, seperti.

Guru

Pahlawan literasi bagi saya adalah guru semasa kelas 1 SD, kita sebut saja nama beliau Ibu Nia, Mengapa? Bu Nia yang pertama kali memperkenalkan saya dengan huruf dan angka. Hanya beberapa bulan di kelas, saya sudah mampu mengeja, serta menyusun huruf-huruf secara tepat. Saya masih ingat, orang tua senang ketika mengetahui anaknya telah lancar membaca. Sekumpulan komik menjadi hadiah terindah pada masa itu.


Bu Nia bukan tipe guru lemah lembut dan selalu tersenyum, seperti yang sering ditampilkan pada novel dan film. Di luar ruangan kelas, beliau memang ramah dan sering mengobrol dengan murid-muridnya. Tetapi, di dalam kelas saat mengajar? Wah, beda lagi. Suara Bu Nia menggelegar saat menerangkan pelajaran. Beliau pun tidak segan dan tegas menegur murid yang membuat kesalahan.


Saat itu, jantung mungil saya sering jumpalitan mendengar suara tinggi beliau. Kalau berbuat kesalahan, saya pun tidak luput dari teguran. Namun, situasi demikian justru memicu saya untuk lebih tekun belajar. Ternyata, hasilnya tidak sia-sia. Saya senang pernah dididik oleh seorang guru seperti Bu Nia hingga mampu membaca. Meskipun tegas, Bu Nia berhasil membimbing murid-muridnya cakap literasi dalam waktu singkat.


Penulis Cerita Anak

Saat kanak-kanak, penulis cerita favorit saya berasal dari negara Eropa. Mereka adalah penulis dongeng klasik yang masih digemari sampai sekarang. Bukan berarti saya tidak nasionalis karena memilih penulis dari luar negeri. Saat itu, karya dari negeri sendiri sangat terbatas. Internet pun belum ada. Jadi, saya dan orang tua hanya membeli buku-buku yang tersedia di toko.


Berbeda sekali dengan sekarang. Penulis cerita anak dalam negeri jumlahnya tak terhitung lagi. Buku-buku mereka menyebar sampai ke seluruh penjuru tanah lain. Belum lagi perpustakaan digital hingga beragam aplikasi yang menyediakan banyak buku anak. Sayang sekali jika kita tidak menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan kemampuan literasi generasi penerus.


Pustakawan Keliling

Saya sering membaca di media tentang orang-orang yang membuat perpustakaan keliling, terutama untuk anak-anak. Hebatnya, mereka menopang aktivitas tersebut dengan dana pribadi. Gerakan ini dimulai dari kegelisahan pustakawan melihat banyak anak yang tidak memiliki akses pada buku, apalagi harganya semakin mahal. Demi menjalankan upayanya, mereka menyusuri jalan-jalan dan gang untuk menemui anak-anak yang gemar membaca.


Relawan Literasi

Berbeda dengan pustakawan keliling, relawan adalah orang-orang yang membagikan buku-buku secara sukarela. Mereka mengirim bacaan untuk anak-anak di daerah terpencil atau mendirikan perpustakaan konvensional. Relawan literasi bersedia mendonasikan buku untuk menyebarkan minat membaca bagi masyarakat, serta fokus pada generasi muda. Jumlah mereka tidak pernah berkurang dari masa ke masa.


Pembimbing Kursus Bahasa

Pahlawan literasi bukan hanya berasal dari lingkungan formal seperti dari sekolah, atau sukarelawan. Kakak-kakak pembimbing dari kursus-kursus bahasa ikut masuk dalam barisan pahlawan literasi. Meskipun bergerak pada sektor pendidikan informal, tapi mereka berjasa dalam membimbing anak-anak didiknya hingga mahir berbahasa.


Untuk kursus bahasa Indonesia yang pengalaman dan terpercaya, saya ada rekomendasi untuk putera-puteri tercinta. Kumon Indonesia merupakan plilihan tepat untuk belajar bahasa dengan baik, benar, dan terstruktur. Belajar bahasa di Kumon Indonesia bukan hanya mempelajari materi, tapi membangun karakter anak yang mandiri dan percaya diri.


Tertarik dengan program Kumon Indonesia? Berikut ulasannya.


Kumon Indonesia untuk Perkembangan Budaya Literasi Generasi Muda

Kumon didirikan oleh Toru Kumon di Jepang pada tahun 1954. Awalnya, ide ini timbul dari problem Takeshi Kumon, anaknya yang masih duduk di bangku kelas 2 SD, yang kesulitan mengerjakan soal matematika. Pak Kumon yang merupakan guru matematika, membuat metode dan bahan pembelajaran sendiri. Ternyata, materi yang diajarkannya mampu menuntun anaknya memahami pelajaran matematika hingga tingkat SMA.


Melihat keberhasilan Takeshi, Kumon mencoba metode yang dibuatnya pada anak-anak di lingkungan sekitar. Ternyata metode itu cocok dan prestasi akademik mereka ikut meningkat. Melihat hasil yang menggembirakan, Kumon memutuskan untuk mendirikan usaha di Osaka dan membuka lebih banyak kelas. Sekarang Kumon sudah hadir di 50 negara, dengan sekitar 4 juta siswa yang terdaftar dalam 24.700 kelas.


Dulu Kumon identik dengan pelajaran matematika dan Bahasa Inggris. Sekarang telah tersedia Bahasa Indonesia Kumon untuk membimbing anak-anak cakap membaca, menulis, serta berkomunikasi dalam bahasa Ibu. Dalam program ini, Kumon menawarkan bimbingan untuk les membaca, kursus membaca, serta les membaca dan menulis.


Sebelum mengikuti les membaca anak dan kursus membaca anak, calon siswa wajib mengikuti tes penempatan secara gratis. Mengapa harus didahului dengan tes penempatan? Setiap anak unik. Kemampuan mereka bukan diukur dari usia atau tingkatan kelas di sekolah. Melalui tes penempatan, Kumon menentukan materi pembelajaran  anak secara personal. Jadi, anak yang berumur sama bisa memperoleh materi berbeda.


Dengan belajar di Kumon, anak mampu membaca, menulis, menganalisis isi buku, menyimak beragam genre tulisan, memaparkan informasi secara terstruktur, serta memiliki kecepatan membaca yang baik. Selesai sampai di sini? Belum.

Dengan belajar bahasa Indonesia bersama Kumon, anak dididik untuk mampu memilih bahan bacaan dari berbagai genre. Mereka juga dilatih agar memahami pesan yang disampaikan penulis. Anak-anak pun berani menyampaikan gagasan tepat secara lisan, atau tulisan dengan struktur dan tata bahasa yang rapi.


Alasan Anak Perlu Belajar Bahasa Indonesia Kumon

Bahasa Ibu merupakan salah satu syarat agar kita mampu berkomunikasi dengan baik pada lingkungan. Pemahaman bahasa, etika penyampaian gagasan, serta kosa kata mumpuni, memungkinkan kita menyampaikan informasi secara tepat. Sudah banyak kasus kesalahpahaman  pada orang dewasa yang berasal dari kemampuan berbahasa minim. Rendahnya angka literasi bangsa kita sudah membuktikan hal ini.


Belum terlambat untuk memperbaiki tingkat kecakapan literasi kita melalui generasi muda. Semakin meningkat kemampuan literasi, semakin berkualitas masyarakat dalam suatu bangsa. Mereka mudah menganalisis berita baru, serta tidak mudah terpancing emosi oleh kabar kabur.


Anak dapat meningkatkan kecakapan literasi mereka melalui les Bahasa Indonesia pada Kumon. Penyampaian materi di sini berbeda dengan metode yang digunakan pada proses pembelajaran umumnya. Perbedaan ini menjadi keunggulan bagi Kumon, yaitu.

Belajar dengan Cara Menyenangkan

Kakak-kakak pengajar membimbing anak belajar membaca dan menulis dengan cara menyenangkan. Materi tidak disampaikan secara kaku, tapi lebih fleksibel. Membacakan cerita seperti dongeng sebelum tidur, mendengarkan lagu, serta mengajak mereka berkomunikasi langsung, merupakan cara agar anak cepat menyerap materi yang disampaikan.


Evaluasi Kecepatan dan Ketepatan Membaca

Namanya belajar, wajar kalau anak membuat kesalahan dalam mengungkapkan kata. Di Kumon, para pembimbing akan memantau kecepatan dan ketepatan lafal dan cara membaca anak. Dengan evaluasi dan konsisten berlatih, perkembangan anak tetap dipantau.


Meningkatkan Minat Membaca Buku

Bagi anak yang kurang hobi membaca, membolak-balikkan lembaran buku seperti kewajiban dan dilakukan dengan terpaksa. Sebaliknya, menumbuhkan minat membaca menyebabkan mereka membuka buku dengan hati gembira. Anak tahu ada banyak cerita, gambar, hingga pesan menarik dalam buku. Semakin tahu manfaat buku, semakin mereka berminat terus membacanya.


Mengembangkan Kemampuan Pemahaman Buku

Melalui metode Kumon, anak dapat mempelajari materi lebih tinggi dari usianya, seperti kisah Takeshi di atas. Meskipun baru duduk di kelas 2 SD, tapi dia mampu memecahkan soal-soal matematika setingkat SMA. Demikian pula dengan Bahasa Indonesia Kumon. Anak dibimbing agar mampu memahami bacaan pada tingkat lanjut. Kemudian, mereka pun mampu membaca buku dari beragam genre.


Metode Belajar Istimewa

Dalam metode Kumon, setiap anak ditangani secara personal. Dengan penanganan demikian, anak memiliki lembar kerja small step yang dikerjakan setiap hari di rumah. Mereka dilatih untuk belajar mandiri. Meskipun mandiri, hasil kerja mereka tetap rutin dikoreksi kakak pembimbing. Hasil evaluasi akan dilaporkan pada orang tua secara berkala.


Nah, sekarang kesempatan bagi anak, ponakan, atau adik untuk fasih menggunakan bahasa Ibu. Mereka yang akan meneruskan warisan budaya ini bagi generasi selanjutnya. Tugas kita untuk membimbing anak agar cakap membaca, menulis, serta menyampaikan gagasan secara tepat, sesuai kaidah bahasa yang berlaku.


Literasi untuk Generasi Muda Fasih Berkomunikasi

Untuk apa anak les membaca bahasa Indonesia? Bukankah sekarang era global, saat batas negara semakin tipis? Karena orang semakin mudah bepergian, maka bahasa Inggris yang dibutuhkan. Anak perlu fasih menggunakan bahasa internasional ini, agar kelak lebih mudah menjadi warga dunia.


Benar, bahasa Inggris semakin diperlukan. Kita menggunakannya bukan hanya di dunia nyata, tapi juga ada dunia maya. Individu yang lancar menguasainya, tentu lebih mudah memperoleh teman, ilmu, informasi, hingga pekerjaan dengan upah yang lebih layak.


Tetapi, kita masih tinggal di Indonesia dan setiap hari menggunakan bahasa Ibu untuk berkomunikasi. Gemar membaca, mampu memahami pesan penulis, dan kefasihan menyampaikan gagasan, menjadi nilai tambah dalam bersosialisasi di masyarakat. Supaya keahlian berbahasa ini terus berkilau, perlu dilatih sejak usia dini.


Guru saya di sekolah dulu pernah berkata kepada kami murid-muridnya. “Jangan bangga kalau bahasa Inggris kalian di rapor lebih tinggi dari bahasa Indonesia. Kita warga negeri ini, sebaiknya lebih mahir menggunakan bahasa Ibu daripada bahasa negeri seberang.”


Kalau bukan kita, siapa lagi yang melestarikan bahasa sendiri? Bersama kita bisa memperbaiki budaya baca dan literasi, terutama untuk generasi muda. Banyak individu yang mendukung agar anak gemar membaca. Mereka adalah pahlawan literasi dari beragam profesi, mulai dari guru, penulis cerita anak, pustakawan keliling, relawan literasi, hingga kakak-kakak pembimbing dalam sektor pendidikan informal, seperti Kumon.


Metode Kumon menawarkan materi pembelajaran yang menyenangkan. Anak diajak proaktif melalui pembacaan buku, mendengarkan lagu, hingga diskusi bersama kakak pembimbing. Komunikasi dua arah berlangsung antara mereka dan pembimbing, sehingga anak merasa pendapatnya didengarkan dan semakin percaya diri.


Dalam kelas Kumon, materi pembelajaran diberikan berdasarkan kemampuan siswa, bukan usia. Anak yang masih berusia dini berkesempatan untuk memperoleh materi tingkat lanjut. Belajar Kumon merupakan kesempatan siswa untuk meraih kemampuan terbaiknya pada usia belia, apalagi tidak ada batasan umur untuk mengikuti program ini.


Ayo, segera hubungi kelas Kumon terdekat. Lokasinya sudah tersebar hingga ke seluruh nusantara. Bersama Kumon, tingkatkan kualitas literasi generasi penerus bangsa. Kelak, mereka akan mampu bersaing dengan anak-anak muda dari negara lain.


Referensi : 

  • Ilustrasi oleh Canva Free
  • Website resmi id.kumongloba.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusah...

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mat...

Ketika Konten Blog Menggeser Sistem Marketing Jadul

Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas  berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya. "Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri. Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu. Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen.  Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin. Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng. Jawaban orang tua ...