Langsung ke konten utama

Ketika Konten Blog Menggeser Sistem Marketing Jadul

Internet Provider


Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas  berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya.


"Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri.


Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu.


Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen.  Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin.


Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng.


Jawaban orang tua saya singkat saja. Menurut mereka, produk yang dijual salesman itu sangat terbatas, beda kalau langsung membeli ke toko. Di pertokoan pelanggan bisa memilih sesuai selera, harga dan kantong.  Kalau sales cuma ada pilihan di tasnya saja.


Meskipun demikian, sesekali kami pernah membeli produk yang ditawarkan salesman. Itupun jarang dan biasanya karena dagangannya unik dengan harga masuk akal. Kalau biasa-biasa saja, langsung lewat tanpa kesan.


Seiring berjalan waktu, semakin banyak salesman yang datang ke rumah. Produk yang mereka jual tetap terbatas dan kurang bervariasi. Sekarang saya paham alasan orang tua dulu.  Memilih di pertokoan langsung memang lebih menyenangkan daripada yang datang ke rumah.  Saya pun mulai mengabaikan kedatangan mereka.



Kemudian saya kuliah di Fakultas Ekonomi Manajemen yang banyak membahas tentang penjualan produk. Pada semester akhir, saya mengambil kosentrasi pada Manajemen Pemasaran.  Waktu itu sebenarnya ada banyak pilihan, mulai dari Manajemen Keuangan, Personalia, hingga Usaha Kecil. Dari semua jurusan tersebut, saya mantap memilih Manajemen Pemasaran.


Alasannya sederhana saja. Saat berbelanja keperluan di supermarket, saya sering penasaran kenapa sabun A lebih laku dari sabun B? Padahal kalau di suruh memilih, saya lebih suka dengan aroma sabun B. Akan tetapi, mengapa sabun A lebih laku dan dikenal konsumen?


Di kampus, saya belajar tentang strategi pemasaran perusahaan. Produk yang biasa-biasa saja bisa lebih laku asalkan tepat strategi pemasarannya ke konsumen. Tepat di sini termasuk biaya yang tidak sedikit untuk pemasangan iklan di televisi, media cetak, hingga spanduk. Salesman pun merupakan satu strategi pemasaran perusahaan.


Di semester terakhir itu, kami mendapat mata kuliah Salesmanship yang memaparkan tentang pemasaran  door to door.  Selama ini saya berpikir kalau sales itu hanya perlu berpenampilan rapi dan menarik, sekaligus murah senyum. Pokoknya, sampul luar nomor satu. Namun, semua itu ternyata belum cukup.


Sebelum terjun ke lapangan, mereka di-training menghadapi calon konsumen dengan berbagai karakter. Mereka dididik supaya mahir berkomunikasi dan meyakinkan orang. Para sales juga harus mengenal manfaat dan kelebihan produknya agar calon konsumen percaya dan mau membeli.


Kelihatan mudah, padahal semua pelatihannya perlu waktu dan biaya yang tidak sedikit dari perusahaan. Itu baru pelatihan. Belum lagi respon di lapangan yang kurang bersahabat. Mereka lebih sering di abaikan oleh penghuni rumah. Melelahkan, tapi para sales merupakan ujung tombak pemasaran tradisional (jadul).


Pemasaran Tradisional, dari Pembagian Brosur hingga Iklan Viral

Selain salesman, iklan di media cetak dan elektronik juga menjadi agen pemasaran perusahaan. Kalau sekarang  ada konten viral, maka dulu ada iklan viral. Ketika internet masih mengambang di awang-awang, televisi sudah banyak menayangkan iklan viral yang menjadi jargon dan slogan gaul.


Penonton setia televisi generasi 90an mungkin sudah familiar dengan jargon viral seperti Silau, ManBelum tahu dia, Saya mau yang paling enak! Kalimat-kalimat singkat tersebut bisa mengundang tawa dan menjadi pencair komunitas dan pergaulan.


Demikian berpengaruhnya iklan televisi pada masa itu. Layar kaca menjadi hiburan utama di rumah. Semakin banyak ditonton pemirsa, semakin kuat peluang produk tersebut laku di pasaran. Terutama jika iklannya disiarkan pada jam yang tepat.


Dulu ada istilah prime time, yaitu waktu penayangan program televisi yang ramai penonton. Konon pada waktu prime time, sekitar pukul 20.00 - 22.00 WIB, harga pemasangan iklan bisa melonjak beberapa kali lipat. Namun, iklannya berpeluang lebih dikenal pemirsa.


Pada jam krusial tersebut, remaja puteri dan Ibu-ibu sering menonton sinetron. Sementara, untuk yang kurang tertarik dengan sinetron, ada pilihan film-film Hollywood di stasiun lain. Orang bersantai di depan televisi masing-masing melepas lelah setelah seharian beraktivitas.


Barisan iklannya?  Jangan ditanya, lebih panjang dari gerbong rel kereta api. Lagi seru-serunya menyimak acara, penonton hanya bisa mengomel saat program dipotong siaran komersial.  


Menunggu iklan berlalu membutuhkan kesabaran ekstra.  Bagaimana tidak? Pergilah sejenak ke toilet, setelah itu mampir ke dapur mencari cemilan.  Kemudian kembalilah ke layar televisi. Dijamin, iklannya belum selesai. Nah!


Beda iklan televisi, beda pula sistem promosi brosur.  Di jalan-jalan kita sering bertemu pria atau wanita yang kerap membagi-bagikan brosur. Kalau beruntung, mereka sekaligus memberikan sampel produk.  


Senang mendapat sampel gratis?  Tergantung. Kalau produknya cocok, senang-senang saja. Tapi kalau nggak, sampel tersebut hanya tergeletak di meja. Tidak semua orang tertarik dengan produk tertentu.  Sistem pemasaran dengan brosur dan sampel pun belum tentu menjamin produk laris.


Ada beragam sistem pemasaran tradisional, termasuk baliho dan spanduk. Belum lagi iklan di majalah dan surat kabar yang saat itu merajai media informasi tanah air.  Biayanya pun lumayan.


Biaya yang dikeluarkan untuk pemasaran jadul nggak tanggung-tanggung. Iklan televisi dengan durasi sekitar 30 detik bisa mencapai puluhan hingga  ratusan juta. Tarif tersebut berbeda jika ditayangkan pada jam prime time


Sedangkan iklan majalah dan surat kabar biasanya bervariasi. Semua tergantung ukuran kolom iklan, termasuk jenis medianya.  Semakin populer koran atau majalah, biasanya semakin mahal. Rata-rata harga pemasangan iklan di media cetak berkisar 14 hingga 25 juta.


Dengan biaya demikian belum tentu semua orang atau perusahaan mampu memasang iklan. Siapa yang memiliki dana mencukupi, mereka yang memimpin pasar.  Nggak heran kalau ada produk bagus, tapi karena minim biaya pengiklanan maka namanya kurang dikenal.



Bagi content creator, lumayan juga uang segitu. Kalau dihitung-hitung, cukup untuk travelling atau beli gadget terbaru. Saat plesiran, siapa tahu bisa mendapat ide membuat konten. Semakin bervariasi dan menarik kontennya, semakin besar peluang dilirik warganet.


Ribet memang beriklan zaman dulu. Kalau kekurangan dana, pemasaran produk bisa tersendat. Namun, situasi sekarang sudah berbeda. Internet yang telah menyebar hingga ke pelosok negeri, membuat setiap orang mempunyai kesempatan untuk memasarkan produknya sendiri.


Biayanya juga lebih terjangkau daripada pemasangan iklan di media cetak atau elektronik. Nggak perlu sampai membuat kantong bolong apalagi melompong. Dibandrol harga standar, internet rumahan nan kencang sudah dapat dinikmati seluruh penghuninya.


Dengan jaringan internet mumpuni, berpromosi  tanpa dibatasi ruang waktu dan jarak bukan hal mustahil lagi. Digital marketing atau pemasaran melalui jejaring internet memungkinkan siapapun menjadi salesman tanpa harus keluar rumah. Berkreasi dengan konten menjadi kunci eksis berpromosi di era digital.


Konten-konten kreatif menjadi nyawa dari digital marketing. Jika punya kemampuan mengutak-atik kata, gambar, atau video, kesempatan berkarir sebagai kreator konten terbuka lebar.  Kalau belum?  Yuk, belajar mulai sekarang. Jangan sampai ketinggalan.


Utak-atik Kata menjadi Konten Blog

Salah satu konten yang populer dalam arena digital  adalah tulisan blog. Bentuknya persis, tapi tidak sama dengan website. Kalau website umumnya dikelola oleh perusahaan. Sementara blog lebih bersifat kepemilikan pribadi.  Isinya pun berkisar opini dan pengalaman sendiri.


Tapi, sekarang orang lebih suka melihat postingan visual.  Masih adakah peluang untuk blog?


Oo, tentu ada. Walaupun terdiri dari untaian huruf-huruf dan kalimat, blog masih bisa disisipi dengan gambar dan video. Jadi, media online ini termasuk lengkap.  Pembaca bisa memperoleh informasi melalui tulisan, serta memanjakan pandangan mata dengan konten visual. 


Menurut www.canva.com tampilan tulisan pada artikel itu penting. Otak manusia lebih mudah merespon informasi yang dilengkapi dengan gambar. Kita dapat mempelajari hampir 2.000 gambar dan mengingatnya beberapa hari kemudian.


Persentase mengingat otak manusia lebih tinggi pada  informasi visual. Jika sekarang kita mendengar sekilas berita secara lisan, maka hanya 10% kemungkinan mengingatnya kembali selama beberapa hari ke depan.  Berbeda dengan informasi visual, 65% dari informasinya akan kita ingat lagi beberapa hari kemudian.


Nah, jadi supaya blognya lebih menarik, yuk, belajar membuat konten blog yang lebih berwarna-warni.  Mumpung sekarang semakin banyak aplikasi desain, gambar, foto, hingga video yang mendukung.


Selain visual, pasukan digital yang perlu disiapkan blogger adalah barisan medsos. Mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok, hingga Youtube perlu diaktifkan untuk mempromosikan tulisan. Nggak harus semua, dipilih saja yang mana bisa dioptimalkan.


Inilah kelebihan dari ngeblog. Youtuber belum tentu mempunyai blog, tapi banyak blogger yang memiliki konten Youtube. Demikian juga dengan Tiktoker. Influencer Instagram tidak semua mengelola blog, tapi blogger sebaiknya membuat akun instagram untuk mempromosikan tulisannya.  


Selain menceritakan pengalaman atau opini, blog juga bisa menjadi media promosi seperti iklan televisi atau media cetak dulu. Di tengah gempuran video dan foto-foto, masih adakah perusahaan yang tertarik berpromosi melalui tulisan online?


Tentu ada. Dikutip dari DemandMetric, sekitar 80% pengguna internet  tidak hanya berinteraksi dengan sosial media, tapi juga blog. Sementara dilansir dari HubSpot, blog menduduki peringkat ketiga dalam strategi konten pemasaran setelah video dan ebook.



Jadi, peluang dari blog masih bersinar.  Jangan ragu mencari ide dan berkarya melalui konten blog. Hanya saja, persaingan di blog juga nggak ringan. Dari Growth Badger tercatat kalau pada tahun 2020 ada sekitar 600 juta blog aktive di seluruh dunia.


Biaya untuk ngeblog cukup terjangkau. Ada blog gratisan, tapi jenis ini sulit untuk menghasilkan pendapatan. Biasanya perusahaan yang hendak menggunakan jasa blogger lebih memilih blog Top Level Domain (TLD) alias berbayar.  Jadi perlu biaya membeli domain dulu, termasuk aplikasi yang mendukung isi konten.



Siapkan jaringan internet mumpuni agar ngeblog tetap lancar. Percuma kalau gadget sudah siap, ide kinclong, tapi jaringan internetnya ngadat. Rencana membuat konten langsung buyar.


Karena itu perlu dipilih internet provider yang oke punya. Jaringan kencang dan jangkauan luas menjadi 
kriteria utama memilih provider tepat. IndiHome dari Telkom Indonesia bisa menjadi rekomendasi untuk internet rumahan.


Apa saja kelebihannya?  Yuk, simak ulasan berikut.

IndiHome untuk Internet Rumah tanpa Batas


IndiHome telah dilengkapi dengan kabel optik bawah laut yang aman dari gangguan gelombang elektromagnetik. Berbeda dengan kabel tembaga yang rentan disambar petir, dengan kabel optik pengguna aman berkomunikasi walau cuaca kurang bersahabat. 


Kabel bawah laut IndiHome Jasuka, yang menghubungkan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan ruas Batam-Pontianak (Jasuka), memungkinkan jaringan internet telah sampai ke pelosok negeri. Nah, jadi siapa saja yang mempunyai ide konten yahud berkesempatan eksis sekaligus cuan di dunia maya.


Mengenai kapasitasnya, ada beragam kecepatan yang disediakan.  Jaringan internet unlimited berkecepatan 10 Mbps hingga 300 Mbps siap sedia untuk konsumen.  


Bagi rumah berpenghuni sekitar lima orang, 20 - 30 Mbps bisa menjadi pilihan.  Dengan harga terjangkau, pengguna boleh menyusuri dunia maya tanpa batas. Aktivitas mulai dari scroll medsos, webinar, membuka email, mengirim file, menonton video, semua bebas hambatan.


Pemasangannya juga nggak rumit, kok. Hari ini calon konsumen mendatangi kantor IndiHome untuk mendaftar, besok petugas sudah tiba di rumah memasang perangkat internet. Setelah pemasangan selesai, konsumen tinggal melunasi tagihan dan silahkan berinternet ria.  


Pembayaran tagihan juga nggak ribet.  Banyak pilihan mulai dari aplikasi MyIndiHome, langsung datang ke Plasa Telkom, Kantor Pos, ATM, m-banking, internet banking, sampai ewallet seperti OVO. Pelanggan bebas memilih.



Yup, jika belum memasang IndiHome segera datangi kantor terdekat.


Konten Blog dan Masa Depan Digital Marketing

Dulu ketika melihat para salesman berseliweran di depan rumah, tidak pernah melintas di benak kalau suatu hari nanti saya ikut mempromosikan produk. Walaupun bukan menjadi salesman, tapi saya pernah memasarkan produk tertentu melalui blog. 


Ada yang bertanya, apa nggak malu dulu capek-capek kuliah sekarang jadi penulis blog?


Saya justru balik bertanya, kenapa mesti malu?


Bagi saya, blog itu seperti guru virtual, bukan spritual ya. Blog mengajarkan banyak hal. Sebelum membuat artikel, saya harus riset dengan membaca atau menonton video yang berkaitan dengan tema tulisan. Melalui riset, saya menjadi lebih banyak tahu topik-topik yang selama ini cuma menumpang lewat.


Melalui blog, kegaptekan saya pun mulai berkurang. Setidaknya, nggak separah dulu lagi. Kalau ada lomba ataupun pekerjaan, semua persyaratan administrasi diisi secara digital. Terkadang e-formnya sukses membuat saya bingung, gimana cara mengisinya?


Lumayan panik kalau kebetulan saya kurang paham mengisi e-form yang disediakan panitia. Saya harus berinisiatif menemukan solusi di dunia maya dan nyata. Cari sana cari sini, tanya sana tanya sini, huff, akhirnya selesai juga. Lega.


Dengan ngeblog saya juga mengenal banyak orang, walaupun secara online. Mereka merupakan sosok-sosok yang mempunyai keahlian mumpuni. Melalui individu-individu tersebut, saya tahu banyak hal yang belum diketahui. Terus belajar dan mau menempa diri merupakan upaya untuk memiliki kriteria seperti mereka kelak.


Setiap orang mempunyai peluang untuk berkreasi dengan konten. Kalau saya berminat di blog, maka yang lain mungkin mempunyai talenta membuat video atau ilustrasi. Dengan internet mumpuni, semua karya kita bisa melintas di dunia maya. Soal kualitas akan berjalan kelak sesuai jam terbang dan upaya.


Dengan internet provider IndiHome dari Telkom Indonesia, kreasi kita bebas menjelajah secara digital. Tidak ada lagi batasan waktu dan lokasi. Siapa saja bisa eksis dengan ide nan kreatif.


Ayo, semangat membuat konten bersama IndiHome. 


Referensi :

Komentar

  1. Nah bener bangeeet. Rata2 blogger punya youtube yang juga dioptimasi. Namun, youtuber blm tentu punya blog. Pentingnya internet cepat di era digital saat ini ya, Mbak. Aku jg ngandelin IndiHome untuk kebutuhan digital

    BalasHapus
  2. Di era digital seperti ini, emang harus pakai cara digital marketing ya mbak
    Salah satunya ya dengan promosi lewat konten blog

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, Mbak, tenaga dan opini blogger tetap dibutuhkan.

      Hapus
  3. Baca pembukaan, aku ketawa sendiri mengingat dulu juga pernah mengalami pintu di ketok oleh mbak atau mas yang nawarin produk.

    Lanjut ke tulisan bagian tengah, ngekek juga dunk ada slogan shampoo yang itu tu *hahaha

    Endingnya aku jadi ingin merawat semua medsos dan merapikan blogku ni, Mbak. Siapa tahu kan dengan itu plus Internetnya Indonesia bisa bernilai guna

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seminggu pasti ada sales yang singgah ke rumah ya, Mbak.

      Hapus
  4. Dunia semakin maju begitu pula teknologi, yup kita hidup di jaman yang sudah dikelilingi teknologi, sehinga pemasaranpun menggunakan cara digital

    BalasHapus
  5. Teknologi semakin canggih, konten pemasaran pun semakin mudah dibuat dan disebarkan ya Kak, termasuk via blog dan media sosial lainnya. Blogger dan pengguna media sosial lainnya, ternyata bisa ikut memasarkan produk juga dengan membuat konten ya, jadi marketer online juga ya. Wah, pokoknya dengan adanya internet kita bisa meningkatkan kualitas diri dan kreativitas kita ya, apalagi ada IndiHome akses internet jadi lebih mudah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dengan IndiHome, kita menjadi sales online. Wkwkwk

      Hapus
  6. Dulu sebelum jadi blogger, kupikir cukup bisa nulis aja. Ternyata tidak mudah ya. Rasanya pingin nyerah tapi lagi lagi aku suka nulis. Walhasil tetap jalan, dong.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, Mbak, puyeng luar biasa waktu awal ngeblog. Cuma, sayang kalau berhenti. Perjuangannya nggak tangung-tanggung.

      Hapus
  7. Mampir di tulisan ini jadi ikut nostalgia :) teringat mba dan mas sales jaman aku kecil yang suka seliweran di lingkungan rumah, kadang ada yang bawa tas-tas berat karena mereka mempromosikan alat elektronik. Sekarang jaman udah berganti serba digital ya, promosi sudah lewat internet dan tiap orang pun punya kesempatan berpromosi. Untuk ngeblog pun aq pakai jaringan indihome, buatku juga tetap butuh informasi tertulis seperti blog karena biasanya informasinya dipaparkan secara rinci

    BalasHapus
  8. klo pakai Indihome, mau create konten jadi makin gampiiil yha.

    sukaaa bgt dgn semua fasilitas ala Indihome ini

    BalasHapus
  9. Iya banget dulu pas masih kecil juga sering kedatangan tamu sales door to door, terus bapakku juga langganan koran. Aku juga langganan Bobo sama Mentari lho. Semakin ke sini era digital semua makin mudah siih.
    Apalagi ada Indihome yang ngebantu banget ngonten dan bikin makin cuan.

    BalasHapus
  10. Jadi ingat dulu waktu sales datang ke rumah nawari gorden. 😅
    Akhirnya dibeli ibu saya. Malah ke ambil 3 karena boleh nyicil. 🤭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau kami dulu sempat beli barang pecah belah dan lukisan, Mbak.

      Hapus
  11. Sebagai orang yang pernah di deretan marketing jadul.. juga sangat merasakan tergerus sistem lama dengan digital.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semua hampir tergeser digital, sekarang posisi teller dan kasir mulai diincar.

      Hapus
  12. Meskipun sistem marketing lama sudah mulai ditinggalkan dan banyak brand yang masuk marketing digital tapi untuk produk2 tertentu, marketing digital sifatnya hanya melengkapi karena kesepakatan akhirnya masih butuh face to face antara penjual dan pembeli atau klien dengan tim marketing. Bagaimana pun internet telah membuka jalan yang demikian luas dan panjang tanpa batasan tempat serta waktu dalam dunia marketing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, Mbak, ada produk tertentu yang masih perlu face to face. Kalau saya, untuk beli sepatu dan baju lebih suka penjualan langsung. Soalnya, pernah punya pengalaman nggak mengenakkan pas beli baju online.

      Hapus
  13. sekarang tren beriklan memang sudah berubah ya nggak lagi lewat televisi malah bergeser ke konten kreator dan juga blogger. kalau yang di televisi malah nyebelin banget iklannya diselipin di sinetron mana maksa banget lagi nggak nyambung sama ceritanya

    BalasHapus
  14. digital ini memang perubahanannya dinamis sekali ya mbak, masih belajar satu ehh udah ada teknologi yang baru, baru bikin blog kayaknya kudu belajar yutub juga untuk optimalisasi

    BalasHapus
  15. Wah iya nih..
    Jadi inget pemasaran jadul itu menggunakan teknik yang demikian ya.. Sehingga seringkali kesulitan di banyak hal. Marketing zaman sekarang yang sudah serba digital, pastinya lebih menyenangkan dan menantang.

    BalasHapus
  16. Setuju nih mba. Soalnya sekarang juga kalau mau cari review barang yang mau dibeli lebih enak cek dari blog atau media sosial. Jadi nggak bodong juga ntar kualitasnya

    BalasHapus
  17. Aku pribadi sih lebih suka lihat produk dulu baik lewat iklan atau marketplace abis itu cus lah cari di toko heheh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut