Kembali ke kota masa kecil, Pematang Siantar setelah puluhan tahun tinggal di Medan, memberi saya kesempatan untuk menengok sekilas ke belakang. Dulu, saya senang suka dan menjelajahi bangunan tua peninggalan Belanda yang ada di kota ini. Menemukan bangunan tersebut tidak sulit karena saya setiap hari mengunjunginya. Ya, bangunan SD tempat saya menuntut ilmu adalah peninggalan Belanda.
Sekolah ini didirikan 1925 pada era kolonial. Fungsi awalnya adalah sekolah asrama untuk anak-anak Belanda. Sampai sekarang bentuk aslinya tetap dipertahankan, meski renovasi dilakukan demi perawatan. Saya berkunjung kemarin saat hari libur, suasananya pun tenang dan sepi. Hampir tiada orang berseliweran. Tak apa, kondisi demikian justru membuat mesin waktu seperti berputar lebih kencang.
Selain gedung sekolah, di sekitar lokasi dulu masih banyak rumah peninggalan Belanda. Setelah puas menyusuri tiap jejak di sekolah lama, saya mengelilingi daerah tersebut demi melihat beragam rumah penduduk dengan gaya tua. Sayang, saya harus menelan kekecewaan. Sudah banyak rumah tersebut dirobohkan dan diganti bangunan modern. Hmm, cerita lama.
Dulu sebelum pindah ke Medan, saya punya teman yang bermukim di bangunan peninggalan Belanda. Letaknya tidak jauh dari rumah keluarga kami. Kalau singgah ke rumahnya sepulang sekolah rasanya langsung adem, meskipun cuaca terik. Rumahnya menggunakan jendela daun yang terbuka lebar. Lantainya dingin. Tanpa AC dan kipas angin, dalam ruang tamunya sejuk. Beda dengan hunian sekarang.
Hari itu ketika saya ingin melihat kembali rumahnya, bangunan tua tersebut sudah dirobohkan tanpa sisa. Sekarang di sana telah berdiri rumah modern seperti yang sering kita lihat sekarang. Keberadaan teman saya sekarang pun tidak diketahui lagi. Baik rumah dan orangnya lenyap sudah tiada berita.
Ciri-ciri Bangunan Belanda
Meski nyaris tenggelam oleh rumah modern, bangunan tua Belanda memiliki ciri khas yang berbeda dari versi sekarang. Adapun keunikan dari bangunan ini adalah.
Atap Limas
Atap berbentuk limas memiliki kemiringan yang menyatu pada puncak. Rumah tradisional Jawa, pendopo, hingga rumah tropis banyak menggunakan gaya atap limas. Bentuk atap yang lebih tinggi cocok untuk sirkulasi udara daerah tropis, sehingga bagian dalam rumah lebih sejuk. Pada era kolonial, jenis atap ini banyak dipakai pada rumah rakyat, hingga kediaman dinas pejabat.
Jendela Besar dengan Daun Berbahan Kayu
Rumah Belanda umumnya terletak di atas lahan yang luas, sehingga memungkinkan membangun jendela yang besar. Dengan ukuran demikian, sirkulasi udara lancar. Kondisi dalam rumah pun lebih sejuk. Sedangkan unsur kayu adalah sentuhan tradisional dari lokasi setempat. Indonesia kaya akan kayu berkualitas yang cocok untuk bahan bangunan rumah.
Dinding Tebal dari Bata Merah/ Plester
Bata merah yang dibuat dari tanah merah yang dibakar tepat digunakan pada negeri tropis. Bahan ini menyerap udara panas siang hari, kemudian melepaskannya perlahan saat malam. Suhu dalam ruangan rumah menjadi lebih stabil. Permukaan tembok yang diplester pun lebih rapi jika menggunakan bata merah.
Teras Lebar dengan Langit-langit untuk Ventilasi Tropis
Teras lebar memang dirancang untuk beradaptasi dengan iklim tropis yang panas, lembap, dan sering hujan. Selain untuk tempat duduk-duduk sore, teras lebar menahan udara panas dari luar. Dengan cara demikian, suhu pada bagian dalam ruangan stabil.
Sementara langit-langit tinggi membuat udara panas lebih mudah bersirkulasi. Angin sering terdorong masuk dan keluar dari atas, sehingga udara di bawahnya sejuk. Situasi ini disesuaikan dengan cuaca tanah khatulistiwa. Struktur bangunan Belanda memang tidak kaku dan mampu beradaptasi dengan negara tropis.
Ornamen Khas
Pilar-pilar kayu kokoh yang menopang bangunan, ukiran, hingga tegel klasik yang dipasang pada bagian gedung menawarkan keunikan. Meski sudah banyak bangunan tua yang direnovasi dengan bahan-bahan modern, ciri khas bangunan Belanda tetap melekat. Asalkan bangunan tidak dirobohkan, karakternya senantiasa muncul.
Benarkah Bangunan Tua Identik dengan Cerita Mistis?
Kayaknya enggak lengkap kalau membahas bangunan tua tanpa cerita misterius. Kisah urban legend kerap menjadi cerita menarik dan ramai disimak. Kebenaran dan fakta yang tetap menjadi tanda tanya sampai sekarang, justru menambah rasa penasaran. Benarkah ada penghuni lain dalam bangunan tua, termasuk peninggalan Belanda?
Kalau dilihat dari cerita sekolah saya dulu, memang ada cerita misteri. Konon, pada malam hari penjaga sekolah pernah mendengar suara menabuh drum dari aula, padahal tidak ada orang di sana. Cuma kejadian itu tentu belum cukup menjadi bukti. Mungkin suara tersebut hanya gema dari ruang lain.
Kalau saya bertemu dengan teman-teman lama, mereka mengatakan agak seram sendirian melewati lorong sekolah yang gelap. Meskipun saat itu siang bolong, suasana tetap merinding. Tetapi, kalau ditanya sama saya, biasa saja. Dulu, saya pernah terlambat dijemput. Untuk mengisi waktu, saya jalan-jalan sendirian melintasi lorong kelas yang sudah sunyi. Aman-aman saja dan enggak ada yang colak-colek dari belakang.
Nah, kemarin ketika saya berkunjung kembali ke sekolah lama, suasana sunyi seperti saya telat dijemput dulu. Seperti sudah saya tulis di atas, saat itu bertepatan hari libur nasional. Suasana sekolah hening senyap, hampir tidak ada orang berseliweran. Sesekali saja tampak warga setempat melintas. Saya berjalan sendirian menyusuri jalan setapak di sekitar sekolah.
Seram? Enggak juga. Hanya saja, bangunan tua memang memberikan nuansa dan aroma berbeda. Bukan aroma bunga kantil, kok, jangan salah sangka. Ruang-ruang kelas memang terkunci. Tetapi, dari ventilasinya yang agak terbuka, saya seperti bisa merasakan suasana lembap dan aroma kayu khas bangunan tua. Aroma begini jarang muncul pada bangunan modern sekarang.
Berjalan sendirian di sana sama sekali tidak menakutkan, tidak berbeda dengan zaman SD dulu. Sendirian berjalan justru mengingatkan saya pada tempat-tempat bermain favorit dulu. Sebagian tempat itu masih ada, meski yang lain tinggal cerita lampau.
Mengapa Perlu Melestarikan Bangunan Belanda?
Walaupun berusia tua dan berbeda dari bangunan modern, peninggalan Belanda sebaiknya tetap dilestarikan. Berikut beberapa alasan untuk menjaga peninggalan masa kolonial ini.
Jejak Sejarah
Bangunan Belanda bukan sekadar tembok tua, tapi merupakan saksi bisu masa lalu. Meski tidak bisa ngobrol dan bercerita, tempat ini menjadi bukti tentang pendidikan, pemerintahan, hingga interaksi sosial di era kolonial. Melestarikannya berarti meninggalkan warisan sejarah untuk generasi berikutnya.
Gaya Bangunan Unik
Bangunan Belanda mengusung gaya Indische. Gaya ini merupakan perpaduan dan adaptasi antara arsitektur Belanda, dengan kondisi alam tropis nusantara. Adapun ciri khas dari Indische adalah jendela besar dan tinggi untuk sirkulasi udara, teras luas serta atap limas, hingga tegel klasik maupun plafon tinggi.
Ramah Lingkungan
Merawat bangunan lama lebih ramah lingkungan. Rumah-rumah tua yang direnovasi dapat mengurangi limbah bangunan. Limbah bangunan merupakan sisa pemukiman lama yang dirobohkan, demi menggantikan dengan model baru.
Objek Wisata dan Sejarah
Bangunan tua dapat menjadi objek wisata sejarah yang sarat pengunjung. Jam Gadang di Bukit Tinggi serta peninggalan kolonial di Semarang, sudah menjadi bukti daya tarik dari peninggalan sejarah. Sampai sekarang tempat-tempat peninggalan kolonial tersebut masih ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri.
Bagi yang suka selfie dan nongkrong, maka kafe, museum, hingga gallery kreatif bernuansa kolonial dapat menjadi tujuan menarik. Lokasi-lokasi demikian menawarkan pengalaman dan nuansa berbeda. Tampilannya layak dibagikan pada era medsos seperti sekarang.
Bangunan Belanda, Saksi Bisu yang Berdiri Kokoh
Saya merasa beruntung masih bisa berkunjung ke SD yang bernuansa kolonial. Tidak banyak lagi bangunan bersejarah seperti ini yang masih berdiri kokoh. Di Medan, saat SMP saya juga pernah bersekolah di gedung peninggalan Belanda. Di gerbangnya tertera ukiran dari batu bertuliskan MULO (sekolah setingkat SMP zaman Belanda).
Sayang, gedung tersebut sudah dirobohkan dan diganti dengan restoran. Sekolahnya dipindahkan ke lokasi lain yang menempati bangunan modern. Mungkin teman-teman saya masih ada yang menyimpan foto sekolah lama kami. Namun, bagaimana dengan bangunan kolonial lain yang lenyap tanpa didokumentasikan? Jangan biarkan gaya Indische dan bangunan bersejarah Indonesia lainnya, hilang ditelan zaman.
DI tengah gedung bertingkat dan hunian modern kekinian, peninggalan kolonial yang tersebar di kota saya sebagian mungkin tampak lusuh. Kalau sekolah saya masih lumayan bagus karena direnovasi. Bagaimana dengan pelestarian gedung tua lain? Dari bangunan kolonial, saya seperti terhubung dengan masa lalu. Baik saat-saat sekolah, atau gedung sebagai saksi bisu sejarah masa lampau.
Yuk, lestarikan mereka agar generasi mendatang tetap mendengarkan cerita lampau.
Komentar
Posting Komentar