Saya pernah membaca tulisan pada artikel online yang cukup menarik. Penulisnya mengaku kalau dia seorang perfeksionis, serta mengatakan kalau karakter ini adalah salah satu syarat untuk sukses? Benarkah? Entahlah, saya juga tidak tahu. Mungkin bisa kita bahas bersama.
Tetapi, sebelum menjabarkan lebih lanjut tentang karakter perfeksionis, coba perhatikan paparan berikut. Saya pernah melihat kalau karakter perfeksionis ini mempunyai dua sisi yang berlawanan.
Contoh pertama, ada seorang siswa sekolah yang bolak-balik membongkar kertas sampul bukunya. Ada sedikit kerutan saja sampul langsung dibuka dan pasangnya lagi dari awal. Hanya untuk menyampul buku, waktunya habis setengah jam. Padahal waktu ini bisa digunakan untuk kegiatan lain.
Contoh kedua lain lagi. Ada seorang ilustrator yang melukis gambarnya secara detail. Setiap titik dan garis sekecil apa pun dia perhatikan dengan teliti. Waktu bekerja memang lebih lama, tapi hasilnya sesuai harapan. Ketelitiannya terbayar tuntas.
Yap, sama seperti perkara lain dalam hidup, selalu ada sisi baik dan buruknya. Tergantung pada sudut pandang kita, mau melihatnya sebagai berkah atau bencana. Begitu juga dengan seorang perfeksionis, ke mana dia akan membawa karakter ini. Menjadi pribadi yang unik, atau stres sendiri karena tertindas oleh rasa tidak aman?
Definisi Perfeksionis
Apa itu perfeksionis? Di tengah dunia yang serba cepat, kompetitif, dan penuh tuntutan, keinginan untuk sempurna seolah menjadi standar tak tertulis. Banyak orang merasa harus tampil maksimal dalam setiap aspek kehidupan, yaitu akademik, karier, penampilan, bahkan hubungan sosial.
Dalam konteks inilah muncul istilah perfeksionis, karakter yang sering dianggap sebagai kunci keberhasilan. Namun, benarkah perfeksionis selalu membawa berkah? Ataukah, di balik dorongan untuk menjadi sempurna, tersembunyi bencana yang mengintai kesejahteraan mental dan emosional seseorang?
Perfeksionisme adalah keinginan kuat seseorang untuk mencapai kesempurnaan dalam setiap hal yang ia lakukan. Dalam dunia psikologi, perfeksionisme didefinisikan sebagai kecenderungan menetapkan standar yang sangat tinggi, sering kali tidak realistis, serta mengevaluasi diri secara kritis jika tidak mampu mencapainya.
Paul Hewitt dari American Psychological Association (APA), mengatakan kebutuhan untuk tampil sempurna pada kaum perfeksionis sebenarnya bisa berdampak positif. Karakter ini dapat menjadi motivasi sehat untuk tampil menjadi yang terbaik.
Sementara rekannya Gordon Flett menemukan jika perfeksionis berkaitan dengan stres, depresi, kecemasan, gangguan tidur, hingga masalah mental lainnya. Ternyata, kebiasaan ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Alasannya?
Hal ini dikaitkan dengan pendapat dari Dr. Brène Brown, penulis buku The Gifts of Imperfection. Menurut Brown, perfeksionis merupakan usaha untuk mendapatkan persetujuan dan penerimaan, upaya pembuktian diri, takut ditolak, enggan dikritik, atau istilah sekarang insecure.
Faktor-faktor Penyebab Perfeksionisme
Mengapa seseorang menjadi perfeksionis? Berikut beberapa penyebab umum:
Faktor Internal
Kepribadian ini muncul karena orang yang bersangkutan pada dasarnya mudah cemas atau tertekan. Kecemasan ini timbul dari rendahnya harga diri atau kurang pede. Individu yang bersangkutan perlu pengakuan dari orang lain.
Faktor Eksternal
Lingkungan keluarga yang penuh tuntutan salah satu faktor menjadi perfeksionis. Pernah dengar tentang orang tua yang tidak puas kalau anaknya hanya rangking ke-3 di kelas? Harus peringkat 1, tanpa menghargai kalau anaknya pontang-panting belajar. Akibatnya, anak tersebut tidak percaya diri lagi dengan kemampuannya karena sering dikritik.
Bukan hanya keluarga, lho, lingkungan pergaulan pun bisa membentuk karakter perfeksionis. Terutama pada lingkungan pilah-pilih teman tertentu. Orang yang tidak sesuai standar, pasti tersingkirkan. Kalau sudah begini, tentu ada yang tertolak. Akibatnya, individu bersangkutan akan merasa tersingkir.
Pada masa depan, jadilah dia pribadi yang berusaha sesempurna mungkin agar diterima orang di sekitarnya. Padahal, bukan jaminan juga, kan. Toh, orang-orang yang menolak dia belum tentu lebih baik. Tetapi karena dasarnya tingkat pedenya rendah, opini tersebut diterima tanpa disaring.
Medsos
Pada era digital seperti sekarang, medsos kerap menyebabkan bibit minder semakin subur, jika tidak bijak memfilternya. Kenalan sering memposting momen-momen membahagiakan, maka mulailah ada yang merasa hidupnya minus. Orang lain, kok, sempurna.
Padahal, belum tentu juga. Jarang ada orang yang membagikan kesedihan di akunnya. Semua yang diposting kelihatan indah. Kenyataan kita tidak pernah tahu apa yang sedang dihadapinya. Jadi, santai saja melihat medsos orang lain.
Dampak Positif Perfeksionisme (Berkah)
Walau sering dipandang negatif, perfeksionisme juga punya sisi positif, seperti,
Kualitas Kerja
Kaum perfeksionis memperhatikan detail dan hasil akhir. Mereka teliti sekali sampai ke akar-akarnya. Jika ada satu titik yang salah pun dia bisa tahu. Jangan heran kalau hasil kerjanya berkualitas, terutama bila individu yang bersangkutan sudah punya ilmu dan pengalaman mumpuni. Jerih payahnya tidak diragukan lagi.
Memiliki Etos Kerja Tinggi
Disiplin dan dedikasi tinggi membuat perfeksionis andal dalam pekerjaan. Mereka tidak segan-segan menyediakan waktu khusus agar hasil kerjanya maksimal. Tak masalah kalau nongkrong ditunda dulu, yang penting puas dengan hasil akhir pekerjaannya.
Mendorong Inovasi
Perfeksionis biasanya tidak puas dengan kondisi saat ini, sehingga mereka termotivasi untuk pencarian solusi baru. Hasilnya para perfeksionis mampu lebih inovatif dan kreatif daripada rekan-rekannya yang lain.
Mencapai Prestasi Tinggi
Perfeksionisme umumnya seri terdorong untuk terus mencapai posisi terbaik dari situasi sekarang. Mereka terus mencari cara untuk tetap berkembang. Boleh jadi kesannya ambisius, tapi masih dalam batas yang wajar.
Dampak Negatif Perfeksionisme (Bencana)
Jika berlebihan, perfeksionisme bisa menjadi bencana karena,
Kecemasan dan Depresi
Ketakutan pada kegagalan, kritik, penolakan, dan ekspektasi tinggi dapat menyebabkan stres berkepanjangan, hingga depresi. Kesehatan mental pun bisa terganggu.
Penundaan
Gimana nanti kalau ditolak? Atau malah ditertawakan pula?
Begitu kira-kira perkataan yang muncul pada kaum perfeksionis. Belum dimulai mereka sudah ketakutan duluan. Takut tidak sempurna membuat perfeksionis menunda pekerjaan. Akibatnya, pekerjaan tidak selesai dan mereka bisa menerima teguran, persis kecemasannya. Jadi, seperti lingkaran setan, kan?
Burnout atau Kelelahan Mental
Bagaimana tidak burnout kalau pekerjaan yang sama diulangi terus-menerus, tanpa istirahat. Kerja dipaksakan membuat perfeksionis kelelahan. Jika tidak segera menyediakan waktu istirahat, kualitas pekerjaan pun menjadi tidak maksimal.
Gangguan Hubungan Sosial
Terkadang harapan yang terlalu tinggi membuat orang lain kesal dengan perfeksionis. Hal-hal kecil yang sebenarnya bisa dikesampingkan, diperhatikan sedemikian rupa. Jika tidak bijak mengelola emosi akan menyebabkan konflik. Apabila sering terjadi adu debat, bisa mengganggu hubungan sosial mereka.
Takut Mengambil Risiko
Karena takut gagal, perfeksionis sering bermain aman di zona nyaman dan menghindari hal baru. Padahal, sebenarnya risiko yang terukur itu seru, ya. Apalagi jika bisa mengatasinya, adrenalin langsung terpicu. Dalam hati berkata, ternyata aku bisa juga. Tetapi, hal seperti ini justru menakutkan bagi perfeksionis.
Cara Mengatasi Perfeksionisme yang Tidak Sehat
Dari uraian di atas kita bisa lihat kalau menjadi perfeksionis sebenarnya ada sisi baik dan buruk. Asalkan mau mengelola, perfeksionisme penting untuk menjaga keseimbangan hidup. Berikut cara menjaga keseimbangan ala kaum perfeksionis.
Ubah Pola Pikir (Growth Mindset)
Kalau salah sedikit biasa saja, enggak perlu stres. Saya pernah membaca kalimat yang mengatakan kalau kesalahan membuktikan kita masih manusia, bukan robot apalagi AI. Eh, AI saja masih membuat kesalahan. Saya pernah menemukan AI memberikan informasi yang salah, untung dicek ulang.
Mesin saja bisa membuat kesalahan, apalagi kita. Yang penting mau belajar dari kesalahan tersebut dan tidak mengulanginya lagi. Yuk, lihat kesalahan sebagai proses belajar, bukan kegagalan. Asal mau diperbaiki, hari esok boleh lebih baik.
Tetapkan Tujuan Realistis
Bukan maksudnya meremehkan kemampuan sendiri, tapi sebaiknya sesuaikan dengan standar pribadi dan kemampuan hari ini. Kalau belum maksimal, masih ada kesempatan hari esok. Asalkan mau tetap berusaha dan memperbaiki diri, harapan tetap ada.
Belajar Menerima Ketidaksempurnaan
Apa salah satu hal sulit dalam hidup ini? Mengakui kekurangan diri sendiri. Manusia umumnya mau menampilkan kelebihan, tapi selalu menghindar saat ditanya kekurangan. Kebanyakan perfeksionis lebih fokus pada kesalahannya. Padahal, ketelitian dan kesabaran mereka bisa mengutak-atik pekerjaan berkali-kali merupakan kelebihan, lho.
Batasi Media Sosial
Ya, batasi medsos untuk cari cuan saja, jangan sebagai perbandingan sosial. Hidup orang lain belum tentu seindah layar yang ditampilkan pada layar ponsel. Jadi, daripada menatap nanar pada akun lain, lebih baik pelajari bagaimana cara mengubah konten digital menjadi cuan.
Konsultasi dengan Profesional
Kalau semua cara di atas sudah mentok, sebaiknya mintalah bantuan psikolog atau konselor. Dengan menggunakan jasa profesional, kita mampu melihat dari sudut pandang lain. Latar belakang masalah dapat terungkap, serta solusinya dapat segera diperoleh.
Berkah atau Bencana, Perfeksionis Mampu Membuat Pilihan
Perfeksionisme bisa menjadi kekuatan jika dikelola dengan bijak. Karakter ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong seseorang agar berkembang dan mencapai hasil terbaik. Namun, bila tidak terkendali, perfeksionisme bisa menjadi racun yang merusak kesehatan mental dan hubungan sosial.
Jadi, apakah perfeksionisme berkah atau bencana? Jawabannya tergantung bagaimana kita menyikapinya. Dengan kesadaran diri dan pendekatan yang tepat, para perfeksionis bisa menjadikan sosok yang berkembang dan bertumbuh, tanpa beban.
Nah, mau pilih yang mana?
Komentar
Posting Komentar