Langsung ke konten utama

Abadikan Kenangan bersama Sepiring Mie Gomak



Ada cara unik yang saya lakukan untuk mengabadikan kenangan, yaitu melalui makanan. Jika sedang berbelanja ke pasar atau supermarket dan melihat kemasan mie lidi, memori saya sering melayang ke masa silam. Kenangan itu mengingatkan saya pada aroma dan cita rasa sepiring mie gomak, masakan khas Sumatera Utara.



Bertahun-tahun yang lalu, mie gomak merupakan sarapan ideal dalam keluarga kami. Meskipun kakak-kakak saya sudah berumah tangga atau merantau, tapi ada waktunya kami berkumpul bersama orang tua. Nah, pagi hari daripada repot keluar mencari sarapan, kami mengolah bahan mie lidi menjadi hidangan mie gomak. 



Sebungkus mie lidi tidak akan cukup untuk sarapan sekeluarga yang mayoritas berperut karet. Lemari dapur di rumah minimal harus menyimpan dua bungkus untuk persiapan acara kumpul keluarga. Bumbu-bumbunya pun sudah tersedia lengkap dan tinggal mengolah.



Kakak sulung saya yang akan memasak dengan resep andalan. Biasanya, sambil menunggu masakan, kami sering mengobrol beragam topik remeh-temeh. Pagi hari, tiada seorang pun yang membicarakan masalah berat. Kami sarapan dulu sebelum melanjutkan perjuangan hidup. 





Bukan mudah memasak mie lidi dalam porsi besar, tapi untuk kakak sulung yang berpostur tambun, ini cuma perkara ringan. Baginya, yang penting tersedia kuali besar berdiameter sekitar 60 cm, serta jangan lupa menyiapkan dua sendok goreng.



Harus ada dua sendok goreng, kalau hanya satu tidak akan berfungsi maksimal. Pokoknya, percayakan saja pada kakak. Dia sudah ahli mengolah beragam jenis makanan, mulai dari yang ribet hingga recehan. 



Kakak memasak tanpa perlu dibantu saudara yang lain. Dia sanggup menaklukkan dapur dengan segenap kekuatan. Energinya dalam mengolah berbagai penganan memang luar biasa. Cabai, bawang, dan bumbu-bumbu lain dihaluskan dengan batu gilingan, bukan blender.



Menurutnya, cita rasa masakan akan berbeda jika diolah menggunakan blender. Mesin mengubah tekstur masakan. Kalau menginginkan aroma alami, pergunakan cara natural. Hindarilah bantuan teknologi. 





Jangan heran dengan tenaga ekstra kakak sulung. Mengolah bumbu dapur dengan menggunakan batu gilingan, dianggap sebagai latihan untuk menurunkan berat badan. Anehnya, meskipun bolak-balik menggiling bumbu dapur, jarum timbangan berat badannya tetap anteng pada posisi nyaman.



Setelah saya teliti, ternyata selera makan kakak berbanding lurus dengan aktivitasnya di dapur. Selera makan tetap yahud, selaras dengan kegiatannya. Ya, wajarlah berat badan selalu betah di zona aman. 



Setelah selesai meracik bumbu, kakak langsung merebus mie gomak dan memisahkan airnya. Air hasil rebusan akan dicampur dengan olahan bumbu tumis untuk dimasak sebagai kuah. Biasanya, kuah mie gomak menggunakan santan, tapi kami sedang mengurangi pemakaian isi kelapa itu.



Apalagi untuk kakak yang sudah berpostur gemuk, sebaiknya memang mengurangi konsumsi makanan berlemak. Solusinya, kuah rebusan tadi dimanfaatkan sebagai pengganti santan.





Tangan-tangan kakak yang kokoh, gesit bekerja mengaduk-aduk rebusan mie yang telah ditiriskan dalam kuali. Dua sendok goreng beradu tangkas mengolah makanan tanpa jeda, seperti selekas mungkin berusaha menyelesaikan hidangan.



Mungkin kakak tahu, ada beberapa pasang mata menanti sarapan dengan perut yang berdenting. Namun, penonton masih harus bersabar, sekarang bumbu halus ditumis dulu untuk dicampurkan dengan kuah.



Setelah mulai matang, aroma mie beserta kuahnya langsung memenuhi ruangan dapur. Perut para penghuni rumah semakin berontak. Ketika hidangan tersaji, mereka langsung menyerbu. Pagi hari dan sepiring mie hangat merupakan padanan ideal.



Peraturan di rumah pun tidak mengenal jatah makanan, asalkan mengingat masih anggota lain yang belum sarapan. Silakan ambil berapa porsi yang diinginkan, tapi jangan ada yang tersisa di piring dan kemudian terbuang. Dengan peraturan demikian, mie gomak semakin cepat terkuras.  





Saya mempunyai cara unik menyantap mie gomak. Sajian ini umumnya dihidangkan terpisah antara mie dan kuah. Kalau orang lain mencampur keduanya sekaligus, saya justru mengkonsumsi secara terpisah. Pertama saya makan mie duluan, setelah itu baru icip-icip kuah. Sudah puas mencicipi keduanya, barulah saya gabung dan menyantapnya sekaligus. 



Itu baru porsi pertama. 



Porsi kedua lain lagi. Setelah melihat hasil icip-icip tadi, saya akan memilih mana yang diambil lebih banyak, mie atau kuah. Kalau saya lebih selera pada mie, maka porsi ini yang akan berpindah lebih banyak ke piring.



Demikian pula sebaliknya. Jika kuahnya lebih menggigit, piring saya akan menggenang kuah penuh. Sarapan mie gomak sungguh mengenyangkan, hingga tak tersedia tempat untuk porsi ketiga. 



Biasanya penganan ini bertahan hingga sebelum waktu makan siang. Kita saling peduli dengan anggota keluarga lain yang sering sarapan belakangan. Masing-masing mempunyai jadwal sarapan berlainan. Ada kakak saya yang baru sarapan ketika jarum jam menunjukkan angka sembilan pagi. Dia berbeda dengan saya dan keponakan yang langsung menyerbu ketika makanan tersaji.

 




Kalau semua sudah selesai sarapan, pasti muncul suara berkumandang. "Ada lagi yang belum makan mie?"



Kalau sudah begini, biasanya umur mie tidak akan bertahan lama. Suara yang berkumandang tadi merupakan petugas cuci piring terakhir. Nah, selesailah riwayat mie gomak hari itu. 



Sekarang kakak sulung sudah tiada, kedua orang tua pun telah menghadap Sang Pencipta. Anggota keluarga lain memiliki kesibukan masing-masing. Kita  jarang berkumpul seperti dulu. Kalaupun ada pertemuan keluarga, mie gomak nyaris tidak pernah terhidang. Saat berkumpul, kita lebih sering membeli sarapan keluar karena lebih praktis. Mie gomak mulai terpinggirkan.



Meskipun demikian, ada banyak penjual mie gomak di Medan, tempat saya berdomisili. Pedagangnya  mulai dari kelas kaki lima hingga restoran eksklusif. Mereka menyajikan hidangan dengan beragam harga dan rupa. Kalau saya ingin mengkonsumsinya, tinggal memilih tempat yang sesuai kantong. Namun, cita rasa masakan luar tentu berbeda dengan yang biasa tersaji di rumah. Tampilan boleh mirip, tapi lidah tidak bisa dibohongi. 



Karena sudah saling berjauhan, sekarang saya lebih sering menyantap mie gomak sendirian. Kalau dulu masih ada teman mengobrol tentang hal-hal remeh temeh sambil mengudap sarapan, saat ini semua sudah berbeda. Belum lagi menyangkut porsi makan. Dengan mie gomak masakan kakak, saya bebas menambah sesuai dengan kekuatan perut. Sementara, jika membeli di luar, kekuatan kantong menentukan isi piring.





Sekelumit tentang Mie Gomak

Mie gomak merupakan makanan khas dari Sumatera Utara yang berbahan utama mie lidi. Jenis mie ini banyak tersedia di pasar maupun supermarket. Walaupun berasal dari etnis Batak, jangan khawatir, makanan ini halal untuk dikonsumsi. Dalam menyajikannya, tidak ada campuran darah hewan ataupun daging haram. 



Resep mie gomak menggunakan andaliman atau merica khas Batak. Jika tidak tersedia andaliman, maka boleh diganti dengan merica biasa. Untuk bahan-bahan kuahnya, persiapkan beragam bumbu dapur, seperti cabai, bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, kunyit, serai, daun salam, daun jeruk,  serta daun bawang. Sebagian bumbu ini dihaluskan untuk campuran kuahnya, yaitu santan. 



Cara memasaknya cukup sederhana.  Mie lidi direbus hingga lunak, kemudian tiriskan. Oya, bagi yang menghindari santan seperti kami dulu, sisa air rebusan ini bisa dijadikan pengganti santan.



Setelah dicampur dengan tumisan bumbu dapur yang telah dihaluskan, cita rasa sisa kuah rebusan mie tidak kalah dengan santan. Nah, ketika semua bahan telah matang, sajikan mie gomak dengan menyiram kuah di atasnya. Akan lebih lezat jika makanan ini disediakan saat hangat. 



Mie gomak disebut juga spaghetti Batak. Tekstur mie yang panjang, melingkar, dan sulit terputus, persis seperti tampilan spaghetti asli Italia. Bedanya, jika spaghetti Eropa menggunakan saus, keju, cacahan daging hewani, serta resep-resep impor lain, maka mie gomak dibubuhi bumbu-bumbu asli khas tanah Batak. 





Mengapa disebut mie gomak? Dulu, orang menyajikannya dengan cara mie diangkat menggunakan tangan (digomak) ke atas piring. Sekarang sesuai perkembangan zaman dan etika, cara ini sudah ditinggalkan dan gantikan dengan sendok atau garpu.



Kalau tetap mempertahankan budaya lama, bisa berabe. Orang ragu dengan kebersihannya, apalagi kalau disajikan pada pembeli atau wisatawan. Mungkin mereka tidak akan pernah berkunjung kembali. 



Bagi saya, mie gomak mengilustrasikan identitas masyarakat yang kokoh. Untaian mie yang kenyal, padat, dan tidak mudah terputus, melambangkan karakter teguh dan disiplin, termasuk menjaga sikap kekeluargaan.



Sementara racikan bumbu-bumbunya yang khas, melukiskan tentang kebanggaan pada hasil bumi tanah leluhur. Resepnya yang senantiasa terjaga awet antar generasi ini, menceritakan kekerabatan solid hingga anak cucu.  



Jika melancong ke Sumatera Utara jangan lupa menikmati sepiring mie gomak. Makanan ini merupakan hidangan sejuta umat, tersedia mulai dari kota besar hingga ke pelosok-pelosok desa. Mie gomak adalah identitas suku Batak yang akrab dengan rutinitas mereka. Masyarakat sering mengkonsumsinya sebagai hidangan favorit, seperti keluarga saya dulu. 



Banyak kenangan indah dalam perjalanan hidup kita. Kenangan tersebut bukan harus ditulis pada lembaran buku atau direkam dalam gawai. Buku menjadi kusam dan gawai bisa rusak. Jika terjadi demikian, maka kenangan pun lenyap seiring waktu. Memiliki hidangan khas dan menikmati bersama orang terdekat, boleh menjadi cara tepat untuk mengabadikan memori. Ketika hidangan tersebut awet hingga antar generasi, maka kenangan senantiasa utuh dalam benak. 




Referensi Gambar :
Canva



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Ini Manfaat Pindahan Rumah

Pindahan rumah tidak hanya menguras tenaga dan biaya, tapi juga mental. Siap pindahan berarti siap beradaptasi dengan lingkungan baru.   Apalagi jika di rumah baru kita akan menemukan pengalaman serta komunitas berbeda.     Ada beberapa alasan pindahan. Umumnya, karena sudah memiliki rumah sendiri, habis kontrakan, atau mutasi tugas.  Namun, ada pula yang telah bosan dengan rumah lama dan ingin mencari suasana baru. Kalau yang terakhir ini mungkin masuk kategori kelebihan dana, ya. Sejak kecil saya sudah beberapa kali ikut kepindahan rumah bareng keluarga.   Hanya sekali kami pindahan lintas kota. Selebihnya cuma antar kecamatan, bahkan RT/RW. Dekat sekali, kan.   Meskipun berdekatan, lingkungan baru tetap memberi nuansa berbeda. Setelah lama dan nyaman menetap di rumah terdahulu, sekarang harus menemukan apa yang   menarik dari tempat baru. Alasannya simpel, supaya  betah di rumah sekarang.   Jika telah tenteram di tempat lama, biasanya agak ogah-ogahan memulai lagi dari awa