Walaupun agak susah-susah gampang, penting bagi kita mengetahui karakter asli seseorang, agar tahu bagaimana cara bersikap dengan individu yang baru dikenal.
Masalahnya, mengenal sifat rekan atau teman bukanlah proses yang cepat dan mudah, apalagi karakter rentan untuk dimanipulasi. Penampilan dan tutur kata yang terlihat memukau, tidak menjamin sifatnya juga berkilau.
Orang yang kelihatan ramah dan bersahabat, belum tentu jujur. Demikian sebaliknya, pribadi yang tampak kasar atau acuh, bukan berarti watak yang rumit dan tidak bisa diajak bekerja sama. Tampilan luar dari individu tidak selalu mencerminkan karakter aslinya.
Jadi, bagaimana meneropong karakter asli?
Ada satu cara yang sejak dulu sering dipergunakan untuk melihat kepribadian tulen dari kenalan kita. Cara ini jarang gagal dan terbukti bisa mengeluarkan tingkah laku tertentu yang umumnya disimpan rapi.
Kalimat bijak mengatakan, jika ingin melihat perilaku asli seseorang maka berikanlah dia sejumlah uang. Begitu dipercayakan mengelola uang dalam jumlah besar, atau memperoleh jabatan, serta kesuksesan finansial, biasanya karakter asli akan timbul. Peristiwa yang tak terduga bisa muncul dan membuat kejutan yang tak pernah terlintas di benak.
Uang dalam jumlah besar memang boleh membuka topeng seseorang. Akan tetapi, percayakah Anda jika ada yang mengatakan, hanya dengan uang beberapa ribu rupiah, bisa juga kok, membongkar karakter otentik? Apa benar? Kayaknya mustahil kalau dengan nominal kecil, borok seseorang bisa ketahuan.
Tapi benar lho, uang kecil pun mampu mengorek karakter individu, karena tulisan berikut ini berasal pengalaman pribadi. Beruntung saya cuma kehilangan uang beberapa ribu rupiah, tapi hasilnya watak asli orang yang bersangkutan jadi terbongkar. Aneh, tapi benar-benar nyata.
Sumber : Pixabay
Jadi, begini ceritanya. Dulu saya berlangganan koran terbitan ibukota edisi Sabtu dan Minggu. Jangan heran, saya orangnya memang agak jadul, masih hobi baca koran cetak bukan online. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh faktor usia dan kebiasaan.
Terus, mengapa hanya langganan koran Sabtu dan Minggu?
Sebelumnya, pernah langganan koran lengkap tujuh harian selama bertahun-tahun, sebelum internet menjamur seperti sekarang. Saya selalu melihat kabar nasional dan internasional melalui lembaran-lembaran koran, sebab jarang menonton siaran berita di televisi.
Setelah internet semakin luas jangkauannya, kabar dunia terangkum di alam maya. Berita Senin sampai Jumat hampir seragam di semua media online dan cetak. Jadi, berita pada hari biasa sekarang dibaca melalui gadget dengan koneksi internet, sehingga koran Senin sampai Jumat dihentikan.
Berlangganan koran hanya untuk akhir pekan, karena artikel pada Sabtu Minggu dari media ini agak berbeda dan bervariasi dibandingkan media lain. Redaktur koran tersebut memuat banyak tulisan lifestyle menarik, seperti resensi film, buku, kupas wawancara dengan tokoh, opini, sastra, dan sejenisnya, yang jadi santapan literasi saat waktu senggang.
Hampir setahun berlangganan koran akhir pekan, belum ada masalah yang berarti. Lopernya rajin karena pagi hari sudah tiba di rumah dan saya bisa rutin membaca koran.
Semua lancar tanpa kendala, hingga suatu saat saya ingat perkataan seorang teman. Dia pernah bercerita tentang individu pelit yang menolak berbagi sedikit uang, terutama sebagai tanda terima kasih atas jerih payah bantuan orang lain.
"Kalau jadi orang jangan terlalu kikir, sedikit-sedikit dihitung. Gimana mau dapat rezeki kalau enggan memberi? Padahal yang kita beri juga nggak seberapa."
Jadi, menurut si teman, sesekali berilah sesuatu kepada orang lain dan jangan menahan hanya untuk diri sendiri. Mungkin selama ini dia melihat, kalau saya selalu meminta kembalian saat berbelanja, walau dalam nominal kecil. Menurutnya, uang dalam jumlah kecil tersebut sebaiknya direlakan saja pada orang lain.
Saya jadi teringat uang koran yang setiap bulan dibayar. Jumlah nominalnya ringan serta ada kembalian beberapa ribu rupiah. Mengingat nasehat si teman tadi, saya berpikir mengapa tidak diberikan saja pada loper koran. Hitung-hitung, sebagai tips untuk pekerjaan.
Akhirnya, bulan berikutnya saya iklaskan saja kembalian uang koran tersebut. Ya, semoga saja uang tak seberapa itu mampu menjadi penyemangat si loper untuk bekerja lebih rajin.
Ternyata, hidup tidak semudah nasehat dari si teman.
Setelah ada pemberian tips, saya memperhatikan ada yang berubah dengan perilaku si loper. Biasanya dia selalu rutin mengantar koran Sabtu dan Minggu, tepat waktu tanpa cela. Namun, sejak saat itu, kok jadwal pengiriman koran jadi agak runyam?
Awalnya, dia mengantar koran digabungkan dua hari sekaligus pada hari Minggu. Walaupun kurang senang, saya masih memaklumi, mungkin dia ada urusan penting sehingga terpaksa mengantar koran berbarengan. Ya, berpikir positiflah.
Selama seminggu atau dua minggu dia berkelakuan demikian, saya masih diam. Sebaiknya dilihat dulu, apakah nanti ada perbaikan sistem pengantaran? Ternyata, minggu berikutnya lebih parah lagi. Dia datang hanya hari Sabtu, koran Minggu ditahan untuk kemudian diantar pada Sabtu depan. Wah, mulai edan, nih, orang.
Langsung saja saya menghubungi agensi yang menaunginya, supaya segera mengambil tindakan untuk loper yang bermasalah. Petugas yang menangani cukup koperatif, dia meminta maaf dan berjanji agar menegur loper yang bersangkutan.
Lantas, berubahkah lopernya? Dia langsung berubah jadi tomat. Kemarin bertobat, hari ini kumat.
Selama seminggu dia sempat kembali disiplin mengantar surat kabar tepat waktu. Cuma selama seminggu, karena minggu berikutnya kambuh lagi, bahkan lebih parah.
Sumber : Pixabay
Pada hari Sabtu dia mengantar seperti biasa, kemudian absen hari Minggu untuk datang esok harinya dengan membawa koran Senin. Saya langsung marah. Bagaimana nggak kesal? Sudah dibilang tidak mau berlangganan koran Senin, tapi dia nggak peduli.
Alasannya, persediaan kurang untuk edisi Minggu, jadi koran dialihkan ke edisi Senin. Saya diam saja mendengar alasannya yang terkesan mengarang bebas. Bertahun-tahun berlangganan dengan agensi yang sama, tapi loper berbeda, saya tahu kalau agensi sudah memperhitungkan persediaan koran untuk langganan. Argumentasi loper ini kurang meyakinkan dan membuat geli dalam hati, sekaligus kesal.
Setiap bulan tips pengantaran koran untuk loper tetap saya berikan, tapi akibatnya justru menimbulkan masalah dan karakter asli si loper semakin terungkap. Beberapa kali saya menegurnya langsung sekaligus melaporkan ke agensi, memang ada perubahan tapi hanya berlangsung singkat.
Akhirnya, setelah hampir tiga bulan menghadapi loper yang super unik, dengan berat hati saya memutuskan untuk berhenti langganan koran. Sebenarnya, sayang juga mengingat bertahun-tahun pernah jadi pelanggan tetap. Mau bagaimana lagi, sudah habis kesabaran saya menghadapi karakter loper demikian.
Agensinya kelabakan dan meminta maaf, serta menawarkan promo media cetak lain. Menarik promo yang ditawarkan, tapi apa gunanya jika tetap diantar oleh loper yang sama? Tidak ada loper lain, hanya orang tersebut yang bisa mengantar ke rumah. Kalau diterima, berarti hanya menunggu masalah baru.
Ya, sudahlah, sejak saat itu mulailah menyesuaikan diri membaca koran online. Untuk mencegah penglihatan perih karena menatap lama pada layar gadget, cukup alihkan pandangan setiap 20 menit sambil mengerjap-ngerjapkan mata, agar tidak mudah letih dan bisa kembali membaca.
Saya pun mulai beralih pada koran online dari salah satu perpustakaan digital. Lumayan bisa mendapatkan koran dengan cepat dan mudah, plus menjaga emosi tetap stabil karena terhindar dari loper koran yang tak dapat diandalkan.
Kalau diceritakan kisah ini ke orang lain, mungkin ada yang menjawab demikian. "Tuh, kamu juga yang salah. Hari gini, kok, masih mau terlalu baik sama orang lain. Akhirnya, ditipu, kan."
Nah, jadi bingung dan serba salah kalau sudah begini. Mau berbagi salah, tidak berbagi dibilang pelit. Sudah semakin kabur batas antar kebaikan dan sikap waspada, apalagi saya pernah menyimak kalimat motivasi yang berbunyi demikian, bagaimanapun respon dari orang lain, ayo tetap berbuat baik.
Intinya, kemurahan hati tetaplah perbuatan baik dan mulia, jadi jangan menolak berbuat kebaikan. Hanya saja, jadilah orang baik dan cerdas, supaya tahu menuangkan kadar kebaikan yang pas untuk orang lain.