Sabtu, 29 Januari 2022

Imlek Datang, Kue Bakul Terhidang




Gambar diedit oleh Canva


Tepat pada tanggal 1 Februari 2022 nanti, seluruh dunia akan merayakan Tahun Baru Imlek 2573. Pergantian tahun ini menandakan dimulainya Shio Macan Air 2022. Awal mula tradisi Imlek adalah perayaan petani di China untuk menyambut pergantian dari musim dingin ke musim semi.  Karena itu awalnya disebut dengan Festival Musim Semi.


Angpao dan barongsai jadi simbol Imlek yang paling menonjol. Dari antara keduanya yang tepopuler tentu saja angpoa.  Amplop berwarna merah ini kerap dibagi-bagikan sebagai tanda transfer kegembiraan dan harapan keberuntungan di tahun baru.  Entah benar atau tidak, pernah ada orang yang cerita, kalau dari perolehan angpoa saja dia bisa beli sepeda motor.  Mungkin saja, kan?


Sementara barongsai yang menyerupai singa adalah tontonan meriah yang sayang untuk dilewatkan.  Para pemainnya begitu lincah, gesit, dan harmonis. Barongsai membawa filosofi yang mengajarkan manusia untuk meneladani sifat singa. Bukan keganasannya, tapi keberanian dan semangat untuk bertahan hidup.


Selain angpao dan barongsai, ada satu lagi yang dijadikan simbol Imlek, namun sering terlewatkan, yaitu kue bakul atau kue keranjang. Ini adalah penganan khas Imlek yang menurut saya lezat  Rasanya yang manis serta legit untuk jadi cemilan. Walau bukan dari etnis Tionghoa, saya ikut beli kue ini saat Imlek tiba.


Si Manis dan Awet Bernama Kue Bakul 

Walaupun jadi salah simbol Imlek, ada juga orang yang belum mengenal jenis makanan ini. Mungkin karena beda selera saja, enak sama kita belum tentu cocok di lidah orang lain. Saya sendiri pernah ke salah satu toko kue untuk menanyakan penganan ini, yang penjualnya jadi kebingungan. Dia pikir, saya salah sebut nama. Cari bakul kok masuk ke toko kue?


Dikutip dari Berbagai sumber


Walaupun tak sepopuler angpao atau barongsai, kue bakul hadir sebagai salah satu penganan wajib Imlek.  Rasanya yang  gurih pas dinikmati bersama keluarga dan kerabat.  Hanya saja memakannya agak sedikit merepotkan, karena lengket di tangan atau pisau yang memotongnya.  Anggap saja inilah seni memakan kue bakul, agak ribet tapi enak di lidah.


Kemasan kue bakul ada dua macam, ada yang dibungkus pakai plastik dan yang lainnya dibungkus menggunakan daun pisang. Di pusat perbelanjaan biasanya yang tersedia adalah kue bakul yang dilapisi plastik, serta dikemas dalam kotak berwarna merah. Kotak ini dihiasi dengan gambar-gambar yang menjadi simbol Imlek.


Walaupun tidak disusun dalam kotak, kue bakul dengan bungkusan daun pisang tak kalah menarik. Lapisan daun pisang membuatnya alami dan sehat. Warna kecoklatan daun yang  dikukus, jadi pemanis tampilan kue ini.


Pemilihan kue bakul tergantung pada selera pembeli yang berbeda-beda. Sekarang kue bakul dalam kemasan plastik lebih banyak di jual di pertokoan. Boleh jadi karena kemasan plastik lebih rapi dan praktis digunakan.


Kue bakul dengan bungkusan daun pisang ataupun plastik,  sama-sama punya makna kelekatan. Ada filosofi tentang kekerabatan di dalamnya. Tekstur bahan yang lengket mengambarkan hubungan akrab dan erat.  Kue yang tahan lama menjelaskan tentang kekerabatan yang senantiasa awet melewati waktu yang lama.


Perayaan Imlek, Dulu dan Sekarang

Sebelum membahas kue bakul, tak lengkap rasanya menceritakan kemeriahan Imlek, tanpa menguraikan kisah pelarangannya di masa lampau. 
 

Hari ini kita bisa merayakan Imlek secara meriah dan terbuka.  Pusat-pusat perbelanjaan bersolek dengan memakai warna kemerahan, yaitu warna simbolis Imlek yang melambangkan keberuntungan.  Angpao banyak dibagikan, barongsai tampil tidak hanya di pusat kota dan keramaian, tapi juga ke pemukiman penduduk yang merayakannya.

Gambar diedit oleh Canva


Bertahun-tahun yang lalu ketika rezim Orde Baru berkuasa, hari raya Imlek dilarang.  Pemerintah  memberangus semua kegiatan yang berhubungan dengan Imlek melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, mengenai Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa.


Konon penyebabnya adalah kecurigaan penguasa terhadap etnis tersebut berkaitan dengan sejarah kelam bangsa di masa lalu.  Kejadian pahit yang sudah menghilangkan banyak nyawa, dan etnis tertentu dianggap terlibat dalam peristiwa itu.


Saya sempat menyaksikan bagaimana perayaan Imlek di masa Orde Baru. Jangan harap ada tanggal merah di kalender, apalagi hari libur nasional.  Tanggal perayaan Imlek disampaikan dengan omongan dari mulut ke mulut.  Saat hari Imlek tiba, tidak ada kemeriahan. Kegiatan rutinitas berlangsung seperti biasa.


Situasinya adem ayem. Walaupun dirayakan, tapi secara tertutup di kalangan keluarga atau kerabat dekat saja.  Kalau ingin melihat keramaian Imlek, siapkan kantong tebal untuk bepergian ke Malaysia atau Singapura.


Berasal dari keluarga sederhana, tentu saya tak punya cukup dana untuk jalan-jalan ke luar negeri. Namun, ada cara lain untuk melihat kemeriahan Imlek.  Kami tinggal di kota kecil, di mana televisi dengan antena biasa dapat menangkap siaran dari negara tetangga.  Melalui siaran-siaran mereka, saya bisa melihat kemeriahan Imlek di negeri seberang, yang meriah persis seperti hari raya keagamaan di sini.


Keadaannya berbanding terbalik di kota kami. Fasilitas umum berjalan normal. Sekolah-sekolah dan kantor-kantor tetap buka, seperti hari-hari biasa.  Tiada lampion, apalagi barongsai.  Kalau beruntung, kita bisa mendapat angpao.  Kue bakul saja yang banyak dijual.   Mungkin karena tampilannya tidak menarik perhatian dan mudah diselipkan di antara kue-kue lain di toko.


Semuanya berubah ketika penguasa Orde baru tumbang.  Saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, beliau mencabut pemberlakuan Inpres Nomor 24/1967, kemudian menerbitkan Inpres Nomor 6/2000 pada 17 Januari 2000.


Dengan diberlakukannya Inpres ini, maka etnis Tionghoa bebas menjalankan kepercayaan serta adat istiadat mereka. Gus Dur berpendapat etnis Tionghoa adalah bagian dari budaya Indonesia yang patut dilestarikan.  Salah satu cara melestarikannya adalah dengan memberikan kebebasan untuk merayakannya seperti kebudayaan lain.


Perubahan belum selesai sampai di situ. Pada tanggal 9 April 2001, melalui Keppres Nomor 9 tahun 2001 Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulailah Imlek bisa dirayakan secara terbuka. Tak perlu lagi jauh menyeberang ke luar negeri untuk melihat kemeriahan Imlek.

Gambar diedit oleh Canva


Teman Lintas Suku dan Ras

Sekarang, sama seperti perayaan lain, Imlek sudah menjadi kemeriahan nasional. Pusat perbelanjaan merah membara menampilkan simbol warna yang dianggap membawa kegembiraan dan keberuntungan.  Lampion menghias rumah-rumah warga yang merayakannya. Masyarakat ramai menonton barongsai, tanpa memandang suku, ras, atau agama. 


Situasi ini nyaris mustahil terjadi sebelum Gus Dur membuat peraturan baru. Apalagi dampak dari peraturan yang dibuat penguasa Orde Baru cukup serius. Kecurigaan antar suku dan ras terjadi di  masyarakat. Ada kelas-kelas sosial yang membatasi pembauran individu-individu yang berbeda suku dan ras.


Peraturan boleh membatasi, tapi benarkah semua saling curiga dan tak boleh berteman? Sepertinya enggak semua, kok. Pengalaman bapak saya dan temannya mungkin boleh dijadikan pelajaran.


Bapak bekerja sebagai pegawai di salah satu instansi pemerintah, yang kliennya banyak pemilik usaha atau disebut pebisnis. Suka atau tidak, sebagian besar jaringan bisnis kita dipegang oleh etnis keturunan Tionghoa.  Apalagi saat itu etnis Tionghoa tidak bisa masuk dalam lembaga pemerintahan, sehingga lebih fokus pada bisnis.


Dari sekian banyak kenalannya, ada satu orang teman yang paling akrab.  Sebut saja namanya Om Ali.  Walaupun beliau dari etnis Tionghoa, tapi saya memanggilnya om, bukan koko seperti sebutan lazim untuk pria Tionghoa.  Ingat kan, saat itu segala sesuatu yang berbau Tionghoa dilarang.  Maka supaya aman, teman bapak dipanggil 'om' saja.


Saya kurang tahu persis sejak kapan bapak kenalan dengan Om Ali.  Dari masih usia kanak-kanak, saya sudah kenal beliau karena beberapa kali datang ke rumah untuk membahas pekerjaan. Mereka berteman baik, lepas dari kecurigaan antar ras saat itu.


Walaupun Om Ali murah hati, tapi bapak mendidik kami untuk tidak meminta apapun pada temannya itu. Pekerjaan adalah pekerjaan, urusan pribadi adalah urusan pribadi.  Jangan dicampur aduk antar keduanya.  Kami sebagai anak tentu saja patuh.


G

Gambar Pixabay dan diedit oleh Canva


Suatu hari, ada peristiwa menarik.  Waktu bapak pergi, Om Ali datang sambil membawa berkas pekerjaan.  Saat itu bukan seperti sekarang yang mudah menghubungi orang melalui ponsel.  Dulu alat komunikasi masih sangat terbatas.  Bahkan ponsel pun belum ada.  


Karena enggan menunggu, Pak Ali pun pamit pulang dulu.  Sebelum pergi beliau bertanya sama saya dan kakak di rumah. ""Nanti Om datang lagi. Mau dibawakan makanan apa?"


Pertanyaan itu sangat merdu untuk perut anak-anak, tapi kami adalah bocah-bocah yang taat pada perintah orang tua.  Maka kami pun menjawab.  "Tidak usah, Om."


Walau di dalam rongga badan, jantung sudah berkelap-kelip.


Untuk sebagian orang mungkin itu dianggap keanehan.  Sudah ditawari kok ditolak?  Toh, cuma makanan kan?  Tapi waktu itu kalau dilarang orang tua kami ikut saja, tanpa banyak bertanya.


Saya kurang tahu apakah sikap bapak yang menarik garis tegas antara pekerjaan dan kepentingan pribadi itu ada manfaatnya. Yang saya tahu pertemanan antara mereka awet sampai bertahun-tahun.


Ketika kami pindah ke luar kota, Om Ali ikut mengantar keberangkatan kami. Bahkan beliau berkunjung ke rumah ketika suatu hari datang ke kota baru tempat kami bermukim.  Demikian juga sebaliknya dengan bapak kalau pulang kampung ke kota lama.


Setelah bapak pensiun, mereka masih berteman baik. Komunikasi tetap terjaga Saya ingat bapak pernah cerita, kalau beliau  sering ngobrol dengan Om Ali tentang gejolak politik Indonesia dan pengaruhnya pada dunia bisnis.  


Dan yang tak kalah penting, ketika bapak meninggal, ada yang melihat Om Ali sempat datang ke acara pemakaman. Saya sendiri sebenarnya kurang memperhatikan dan hanya mendengar dari orang lain. Saat itu banyak tamu dan dalam situasi demikian, tentu saya kurang memperhatikan siapa saja orang-orang yang datang.  


Kalau pun itu benar, maka saat itu adalah kali terakhir saya terdengar kabar tentang beliau.  Setelah bapak tiada, kami tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Om Ali. Bagaimana kabarnya sekarang, saya tidak tahu.


Kue Bakul dan Hubungan Kekerabatan yang Awet

Awet, manis dan lengket ketika dimakan, itulah sifat dari kue bakul.  Jika dihubungkan dengan harapan di hari Imlek, kue bakul menggambarkan rasa manis dari kekerabatan yang tetap terjalin tahun demi tahun.

Gambar diedit oleh Canva


Tekstur kue bakul yang lengket tapi manis, menggambarkan relasi yang erat melewati waktu demi waktu. Perbedaan bukan hambatan untuk menjalin pertemanan.  Keakraban dan hubungan awet bisa melewati perbedaan batas suku dan ras.


Bercermin dari kisah bapak saya dengan Om Ali, makna kue bakul bisa menggambarkan  pertemanan yang terjalin bertahun-tahun, mulai dari saya anak-anak, beranjak dewasa, hingga akhirnya bapak meninggal. Berawal dari rekan kerja, mereka tetap berkawan dalam jangka waktu yang lama, walaupun berbeda asal-usul. 


Pertemanan yang awet seperti kue bakul yang tahan disimpan lama.


Hari perayaan Imlek semakin dekat. Dalam kemeriahannya, semoga jalinan toleransi di masyarakat tetap terjaga hingga kita bisa hidup berdampingan secara damai. 


Akhir kata, selamat menyambut Hari Raya Imlek untuk yang merayakannya.  Gong Xi Fa Cai.  Kiranya senantiasa dilimpahi berkah dan keberuntungan melimpah di tahun yang akan datang.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maksimalkan Manfaat Gaming untuk Lansia Bersama ROG Phone 8

    "Wah, Nenek masih mahir ikut gaming."     Kalimat ini akan terucap dari seorang cucu yang menyaksikan Neneknya mahir mengutak-...