Langsung ke konten utama

Sekelumit Pengalaman Bersama Rantangan



Berlangganan rantangan itu unik, seperti memecahkan teka-teki setiap hari. Biasanya, pelanggan tidak tahu jenis menu apa yang akan diantar hari ini. Membuka tutup rantangan ibarat menemukan jawaban teka-teka tersebut. Di situlah terletak keunikannya. Ada rasa penasaran sekaligus kelaparan berkolaborasi sebelum menyantap hidangan.


Konon, di Indonesia rantangan mulai beredar sejak tahun 1950. Beragam informasi tersebar tentang asal muasal rantangan. Ada yang mengatakan berasal dari Amerika, India, atau China karena bentuknya mirip wadah dimsum.


Darimanapun asalnya, panci bertingkat ini telah menjadi penyelamat untuk orang yang tidak sempat memasak. Tanpa ribet, para pekerja di kantoran hingga sawah, bisa menikmati bekal rutin. Simpel karena dalam satu paket rantang,  bisa memuat berbagai menu secara terpisah mulai nasi hingga lauk pauk. 


Umumnya, nasi selalu disusun pada panci paling bawah. Paling atas biasanya diletakkan lauk pauk. Mungkin maksud penataan ini agar pengguna lebih semangat menyantap hidangan, kalau melihat lauk pauk terlebih dahulu. Nasi bisa belakangan, yang terpenting lauknya menggugah selera. 


Yummy!


Pengalaman bersama Rantangan 

Merantang boleh jadi ide populer di masyarakat, tapi keluarga saya dulu tak pernah berlangganan rantang. Semua masakan di rumah diolah bergantian oleh anggota keluarga.  Ide merantang sama sekali tak ada dalam benak kami.


Perkenalan saya dengan isi rantang justru bermula sejak masa SMA. Saat itu, ada pelajaran tambahan sehingga siswa harus membawa bekal makan siang ke sekolah. Untuk menghemat waktu, bersama beberapa rekan sekelas, saya menyantap bekal di kos-kosan seorang teman yang letaknya berdekatan dengan lokasi sekolah.


Kami semua menyantap lahap bekal dari rumah. Namanya juga masakan rumahan, sudah sesuai dengan selera masing-masing.  Di tengah acara makan, saya perhatikan ada yang berbeda dengan teman penghuni kos. Kebetulan dia berlangganan rantangan. Sebelum makan, dia mengendus menu sambil mengernyitkan dahi.


"Emang kenapa?"  Saya bertanya penasaran.


"Kadang ikannya beraroma menyengat, seperti udah lama," jawabnya sambil terus melahap makan siang sembari meringis. 


Semua teman yang mendengarnya saling berpandangan.


Sejak itu, saya pun agak ragu dengan kualitas rantangan. Kalau memiliki waktu senggang, saya lebih baik memasak. Jika mendesak, ya beli nasi bungkus saja. Menunya juga bisa dipilih sendiri. Daripada rantangan, hidangan yang disajikan setiap hari belum tentu cocok dengan selera.


Sampai suatu hari kemudian saya harus menelan ludah (janji) sendiri.


Ceritanya, Ibu saya sakit dan bersama seorang perawat kami bergantian menjaganya. Supaya enggak terlalu repot, kami memutuskan untuk merantang. Agar mendapat kualitas terbaik, jangan seperti kisah teman saya dulu, kami mencari informasi rantangan yang oke punya.



Setelah tanya kiri kanan, kami menemui seorang Ibu yang memang fokus mengurus bisnis ini. Setelah tahu informasi mengenai harga dan menu, akhirnya kami setuju memesan makanan dari Ibu Rantang. Mulailah kami merantang. Wow, pengalaman baru, nih.


Menu yang disajikan lumayan lengkap. Dengan harga terjangkau, disediakan variasi makanan yang disajikan bergantian setiap hari. Lauknya mulai dari daging, ayam, dan ikan, serta sayuran. Sajiannya juga masih segar, tidak tercium aroma menyengat. Kami pun bisa tenang merawat Ibu saya yang sedang sakit.


Kemudian, suatu hari muncul kejutan.


Jadwal kedatangan rantangan ke rumah biasanya pukul 11.30 siang. Namun, hari itu ketika jam dinding menunjukkan hampir pukul 12.00, motor Ibu Rantang belum kelihatan di gerbang.


Saya mencoba berpikir positif, biasalah terlambat sesekali.  Namanya juga usaha, kadang-kadang bisa muncul sedikit kendala. Mungkin saja motornya mogok atau terlambat memasak. Kalaupun hari ini diliburkan, pasti ada pemberitahuan.


Ketika waktu menunjukkan pukul 12.30,  saya mulai gelisah.  Sudah enggak benar lagi, nih.  Mau sampai jam berapa kami menunggu? Perut mulai keroncongan, mata semakin berkunang-kunang.


Akhirnya, saya telepon dan jawaban yang diterima nyaris meledakkan emosi.


"Aduh, maaf, saya lupa beritahu.  Hari ini rantang libur dulu karena Ibu Rantang sakit."


What!?!  Ini sudah lewat 12.30 siang!


Saat itu belum ada pesanan makanan online seperti sekarang. Kalau enggak memasak, ya berarti harus membeli sendiri di luar. Kami benar-benar kesal. Perut berdendang, emosi bergoncang. Kebayang bagaimana repotnya kami mau mencari makan siang.


Akhirnya, kami langsung ubek-ubek kulkas, siapa tahu masih ada persediaan makanan mentah. Sejak merantang, persediaan makan di kulkas agak dikurangi, khawatir nanti tidak dipergunakan dan kelamaan disimpan. 


Ternyata masih ada ayam potong di freezer. Ups, lega. Ayamnya pun segera dicairkan dan terendam di minyak panas.


Untung masih ada tersisa dari belanja kemarin. Kalau tidak, bayangkan saja siang bolong panas terik mencari makanan di luar.


Mulai hari itu, jika sedikit saja terlambat dari jadwal pengantaran, saya langsung telepon Ibu Rantang. Kami enggak mau kecolongan lagi karena keteledorannya. 


Terkadang kita memang tidak boleh terlalu mengandalkan orang lain. Sebaiknya, tetap punya inisiatif sendiri dan jangan pasif menunggu.  


Ibu Rantang seperti mengerti kekesalan kami. Setiap ada keterlambatan atau libur masak, telepon selalu berdering. Nah, begitulah.


Namun, kemudian muncul lagi masalah baru.




Sekitar dua tiga bulan setelah langganan, saya perhatikan ada yang berubah pada menu yang diantar. Daging dan ayam mulai absen dari peredaran. Ikan basah yang digoreng pun semakin kecil dan kurus. Sekarang lauknya lebih sering disediakan ikan asin berpostur lebih tipis dari kerupuk.


Waduh, mulai enggak benar lagi. Ini sudah melenceng dari perjanjian awal. Saya pun langsung mengajukan keberatan.


"Masalahnya, harga mulai naik. Kalau mau menu seperti dulu, ditambahlah pembayarannya." Ibu Rantang menjawab ringan ketika saya tanyakan sebab musababnya.


Saya kaget mendengar kabar baru ini. Kenapa enggak dikabari, Bu? Diomongin dulu, kan, bisa. Janganlah menunya langsung berubah tanpa ada pemberitahuan.


Saya enggak langsung menjawab, tapi mendiskusikannya dengan perawat Ibu di rumah.  Gimana bagusnya, ya?


Kami pun mulai berhitung. Kalau belanja sendiri, berapa pula sekarang harga daging, ayam, dan ikan?  Kami juga memperkirakan biaya tomat, cabe, bawang dan bumbu-bumbu lain. Layak enggak jika dibandingkan dengan harga rantangan yang terus meningkat?


"Kalo kita masak sendiri aja, gimana?" Saya mengambil kesimpulan. 


"Iya, Kak, memang bagusnya begitu. Masih lebih untung kalau kita masak sendiri. Walaupun nanti  agak repot di dapur."


Nah, si perawat sudah setuju. Selesailah sudah urusan dengan rantangan. Kami pun resmi berhenti merantang.


Mulailah kami memasak bersama di dapur.  Setiap hari kami mengulek sambal, memasak sayur, hingga menggoreng ikan dan berbagai jenis makanan lainnya. Walaupun repot dan kepanasan terkena asap masakan, tapi kami tetap enjoy.  


Setelah acara memasak selesai, kami bisa bersantap dengan lapang dada. Tiada lagi omelan gara-gara rantangan telat atau menu tidak sesuai perjanjian. Kami bisa menyediakan hidangan sesuai selera, walaupun agak repot mengerjakannya. Toh, pada akhirnya semua kerjaan tetap selesai. 


Kapok merantang? Enggak juga. Setelah kisah di atas,  beberapa kali saya masih merantang di tempat lain. Bisnis rantang yang oke tetap ada, kok, asalkan sabar mencarinya.


Tips Menemukan Rantangan yang Tepat 

Dulu, saya adalah orang yang enggan merantang. Sering mendengar cerita negatif tentang rantangan, membuat saya agak waswas.  Namun, hari esok siapa yang tahu?  Situasi di rumah membuat saya harus merantang.


Ternyata masih banyak kok, bisnis rantangan yang bagus. Kuncinya, kita sabar dan mau mencari yang terbaik. Sekali dua kali ketemu yang kurang pas sudah biasa.  Walaupun nanti ketemu yang sreg di selera, tetap saja ada kurang lebih dari setiap rantangan. Sekarang tergantung pada kita, bisa menerimanya atau tidak. 


Ada beberapa tips untuk menemukan penyedia rantangan yang cocok. Mudah-mudahan ini bisa membantu untuk siapapun yang mau merantang.


Pertama, cari informasi dari mulut ke mulut.

Biasanya ini sumber informasi terdepan dan tercepat. Teman atau saudara yang sering merantang boleh menjadi referensi untuk menemukan rantangan yang tepat.


Jangan lupa tanyakan pula apa kekurangan dan kelebihan menu yang disajikan. Bisa dimaklumi atau enggak? Kemudian pertimbangkan apakah harga yang ditawarkan sudah masuk akal dan sesuai anggaran rumah.



Kedua, cek gerai tempat penyediaan rantangan.

Kalau memungkinkan, usahakan melihat langsung gerainya. Bagaimana kebersihan mereka menyediakan makanan?  Kalau saya suka penasaran dan ingin tahu, pelanggannya banyak atau tidak?  Sudah berapa lama mereka membuka usaha? 


Rantangan yang oke biasanya punya rekam jejak yang dapat diandalkan. Enggak kaleng-kaleng, istilah anak sekarang. Bisnisnya sudah berjalan cukup lama dengan pengalaman mumpuni.


Ketiga, konsisten.

Ini perlu waktu untuk menilainya. Apakah Ibu Rantang konsisten menerapkan perjanjian sejak awal dengan pelanggan? Apakah menu yang disajikan tetap bersih tanpa aroma mengganggu?


Biasanya, karakter konsisten ini kelihatan setelah beberapa bulan merantang. Awalnya masih meyakinkan. Setelah berlangganan cukup lama, barulah kelihatan bagaimana sifat asli pelayanan mereka.


Menurut saya, poin ketiga ini yang paling penting. Ini alasan pelanggan tetap betah. Poin pertama dan kedua di atas masih bersifat subjektif, tergantung karakter pelanggannya. Ada yang menerima apa adanya, ada pula yang langsung kabur tanpa ragu.


Penilaian subjektif ini persis seperti situasi teman SMA saya pada cerita di atas. Dia sebenarnya kesal dengan menu yang diantar.  Akan tapi karena sesuatu hal, rantangan tetap dipertahankan. Mungkin berbeda lagi keputusannya kalau situasi yang sama terjadi pada orang lain.


Ya, merantang memang sebaiknya disesuaikan dengan karakter pelanggannya.


Rantangan, Bisnis Pengantaran Makanan yang Awet Sepanjang Masa 

Tersusun seperti menara, wadah rantangan menjadi kotak pengantaran makanan favorit sepanjang masa.  Panci-pancinya yang disusun terpisah, memungkinkan pengguna membawa beragam makanan tanpa harus dicampur. Hidangan pun lebih tahan lama dan terhindar dari rasa basi. 


Bisnis makanan memang hampir tidak pernah meredup, termasuk merantang. Pebisnis rantangan seperti paham peluang ini. Mereka pun semakin kreatif menyediakan berbagai pilihan makanan menarik dengan harga bersaing untuk pelanggan. 


Bagi yang mau merantang, jangan cepat termakan isu negatif.  Bisnis rantang yang bagus tetap ada, kok. Kita hanya perlu waktu, kesabaran, dan kecermatan untuk menemukan yang terbaik.


Rantangan sesuai selera akan muncul pada waktu yang tepat. Tetaplah berupaya karena selalu ada harapan menemukan Ibu atau Bapak Rantang yang sepadan. 


Yuk, tetap semangat yang mau merantang.

 

Komentar

  1. Wahh seru juga cerita ttg pengalaman rantangan

    Saya jg sekarang pilih rantangan aja.
    Lebih ngirit jatuhnya

    BalasHapus
  2. sebenarnya rantangan ini jatuhnya entah kenapa lebih murah timbang masak sendiri. dapur rapi, nggak kotor dan tentu saja nggak capek. hihihi. kangen nih merantang,

    BalasHapus
  3. Saya nggak kenal nih sama rantangan ini. Adanya di daerah mana Mbak?

    Kenapa saya jadinya terbayang-bayang sama rantang yang isinya makanan enak-enak ya.

    Dulu sering diminta ibu buat mengantar laku ke rumah Simbah dengan rantang.

    BalasHapus
  4. Kayak.y di kotaku nggak ada rantangan deh atau aku yg kudet, ya? Lebih praktis nih kalau pake rantangan, cuma emang lebih terjamin kalau masak sendiri sih, baik dari segi bahan atau pun proses masaknya

    BalasHapus
  5. Aku dulu juga pernah jadi pelanggan rantangan gini mbaa wkkw tapi akhirnya berhenti karena pindah rumah, lebih jauuuh ga tega sama yg jual nti nganter2nyaa ongkirnya jg mahal jadinyaa andaikan ga dikasi ongkir, kasihan yg jual hiks

    BalasHapus
  6. Pengalamannya seru dan inspiratif sekali, Kak.🥰 Saya juga sudah cukup lama merantang nih. Beruntungnya Ibu Rantang saya komunikatif sekali, malah setiap kali nanya kamo mau dimasakin apa. Harga juga bersahabat banget.Bersyukur banget deh pokoknya. Hehe. Jadi curhat. 😋

    BalasHapus
  7. Ini cerita rantangan bisa jadi artikel menarik begini hihi....Keren, Mbak
    Saya pengalaman rantangan saat LDR sama suami, karena dua anak masih kecil, ga ada ART jadi saya rantangan. Awalnya sih oke, lama-lama kadang menunya itu melulu, atau ya tadi ikan/ayam kayak dah hampir basi, terus saya reques menu ga pedas tapi selalu dikasih pedas..Ya sudah cuma bertahan beberapa bulan , mending sesempatnya masak dewe tapi sesuai selera

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengalaman setiap orang berbeda, Mbak, jadi bawa asyik aja ditulis jadi artikel. Hehehe.

      Hapus
  8. Jadi ingat waktu aku remaja dulu, kalau mama pergi nengok kakak yang kuliah di luar kota pasti kami dipesenin rantangan, kebetulan ibu rantang cuma beda beberapa blok dari rumah...yah jadi langganan meskipun Alm papa kurang suka makanan rantangan, kadang cara masaknya ngak sesuai selera. Akhirnya kejadian papa marah2 karena pas puasa ibu rantang kirim makanan jam 10 malem buat sahur, kebayang ngak enak dimakan pas sahur kebetulan mama lagi jemput kakak, dari situ aku sama adik belajar masak yang ringan tumis2 atau goreng tempe biar ngak rantangan lagi...wkwkw seru kalau ingat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ibu Rantang kadang unik dan suka buat kejutan. Wkwkwk.

      Hapus
  9. Dulu saya pernah merantang pas kuliah. Iya itu serunya nebak-nebak menu yang disajikan hari itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pas buka tutup rantang reaksinya antara 'wow' atau 'waduh.'

      Hapus
  10. Wah aku kok jadi ingat saat kuliah dulu
    Sering juga rantangan seperti ini

    BalasHapus
  11. Aku baru tahu ada katering model rantangan ginj lo mba. Asyik juga ya. Cuma memang harus teliti ya cari rantangan yang amanah

    BalasHapus
  12. Rantang jadi ingat masa kami Memanen padi di sawah dulu. Tapi ini rantangan beda ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rantangan rumahan diantar oleh pengusaha catering, Mbak. Kalau rantangan sawah kan biasanya dimasak sendiri. Saya dulu pernah ke ladang di kampung Nenek bawa rantangan sendiri untuk makan siang.

      Hapus
  13. Aku jadi inget cerita sendiri. Lagi hamil muda, jadi susah mau masak sendiri. Akhirnya pakai rantangan. Minta dianter jam berapa, datangnya jam berapa. Suami sampai kesel.

    BalasHapus
  14. Makanan tuh lebih dekat ke persoalan selera. Kalau memang baik pelayanannya dan rasanya cocok, Insya Allah pelanggan pun tetap awet menggunakan jasa rantangan. Bagi keluarga yang ayah ibunya ngantor, model rantangan gini memudahkan keluarga. Jika lagi ingin masak sendiri pun tetap bisa dilakukan. Hanya saja kalau pas hari kerja yang sibuk, mau gimana lagi ya, andalannya ya rantangan gini agar selalu tersedia lauk di rumah.

    BalasHapus
  15. kenapa rantangan mengingatkanku pada kondisi para opetani yang dikirim makanan ya mbak hehehe... mantap artikelnya mbak jadi cerita gini ya

    BalasHapus
  16. saya tadi mudengnya rantangan adalah tempat makan bersusun yang sering kami gunakan dulu untuk mengirim makanan saat lebaran, ternyata istilah lainnya adalah yang berkaitan dengan bisnis makanan ya, memang masih berkaitan sih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wadahnya bernama rantangan. Fungsinya tergantung pemiliknya, Mbak, sekedar mengantar atau langganan makanan.

      Hapus
  17. Rantangan ini penyelamat banget kalau ga sempat masak. Aku pernah rantangan juga. Setiap anakku lahiran pasti aku rantangan. Tapi ya harus turunkan standar, wkwk.

    BalasHapus
  18. seru banget yaa mba rantangan gini. Kalau disini bukan rantangan tapi semacam prasmanan gitu dan bisa beli per item. Btw, menarik ceritanya mba.. storytelling nya dapat bgt

    BalasHapus
  19. Kadang-kadang suprise ya Mbak menebak menu apa hari ini? Tapi buat yang pemilih makanan agak repot sih. Aku sih suka apa saja. Ya, bisnis makanan memang berisiko meski cukup menjanjikan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prioritaskan Kesehatan Mata Sebagai Investasi Seumur Hidup

Kaca mata identik dengan orang tua dan kakek nenek lansia. Penglihatan yang mulai mengabur karena faktor usia ataupun penyakit, membuat para warga senior banyak yang bermata empat. Namun, apa jadinya kalau anak-anak sudah menggunakan kaca mata? Berkaca mata sejak usia 12 tahun, saya paham bagaimana risihnya dulu pertama kali memakai benda bening berbingkai ini. Saat masuk ke kelas, ada beragam tatapan dari teman-teman, mulai dari yang bingung, merasa kasihan, sampai yang meledek.  "Ih, seperti Betet!" Begitu gurauan seorang anak diiringi senyum geli. Hah, Betet? Sejak kapan ada burung Betet yang memakai kaca mata.  Cerita beginian cuma ada di kisah dongeng. Terlalu berlebihan. Candaannya diabaikan saja Waktu itu,  bukan perkara mudah menjadi penderita rabun jauh atau miopia. Apalagi di sekolah saya tidak banyak anak yang memakai kaca mata. Kalau kita beda sendiri, jadi kelihatan aneh.  Padahal, siapa juga yang mau terkena rabun jauh? Walaupun risih, keluhan mata tidak boleh

Konservasi Hutan untuk Ekonomi Hijau bersama APRIL Group

Gerakan ekonomi hijau atau Green Ekonomy mulai disosialisaikan oleh United Nation Environment Program (UNEP) pada tahun 2008. Konsep ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi untuk kemajuan negara, dengan memperoleh keuntungan bersama antara produsen dan konsumen, tanpa merusak lingkungan. Salah satu lingkungan yang dipantau adalah hutan. Sebagai salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia,  pengalaman APRIL Group , melalui anak perusahaannya PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau, Indonesia, dapat menjadi referensi untuk pelestarian lingkungan. Perusahaan tetap konsisten mengelola pabrik, tanpa mengabaikan alam, bahkan  melalui program APRIL2030 , ikut meningkatkan  kesejahtearaan masyarakat  dan turut mengurangi emisi karbon . Yuk, kita simak aktivitas ekonomi hijau bersama perusahaan ini. Ekonomi Hijau untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati  Sumber : Pixabay  Konservasi Hutan untuk Mencegah Deforestasi Setiap tahun, perusahaan mampu memproduksi 2,8 jut

Ketika Konten Blog Menggeser Sistem Marketing Jadul

Dahulu kala ketika internet belum semasif sekarang, rumah sering didatangi Mbak-mbak atau Mas-mas  berpenampilan menarik. Dengan senyum menawan, mereka mengulurkan tangan menawarkan produk dari perusahaannya. "Maaf, mengganggu sebentar. Mari lihat dulu sampel produk kami dari perusahaan XYZ." Begitu mereka biasanya memperkenalkan diri. Mayoritas pemilik rumah langsung menggeleng sambil meneruskan aktivitasnya. Sebagian lagi acuh sembari mengalihkan perhatian. Ada juga yang masuk ke rumah dan menutup pintu. Respon para salesman tersebut pun beragam. Beberapa orang dengan sopan berlalu dari rumah, tapi ada pula yang gigih terus mendesak calon konsumen.  Walaupun upayanya nihil karena tetap dicuekin. Saat dulu masih kanak-kanak, saya pernah bertanya pada orang tua. Kenapa tidak membeli produk dari mereka? Kasihan sudah berjalan jauh, terpapar sengatan sinar matahari pula. Mereka pun sering diacuhkan orang, bahkan untuk salesgirl beresiko digodain pria iseng. Jawaban orang tua