Minggu, 26 Februari 2023

Atasi Depresi untuk Mencegah Demensia pada Lansia



Depresi


Tetap sehat di hari tua merupakan impian banyak orang. Sayangnya, tidak semua memperoleh kesehatan di masa senja. Sebagian lansia menghabiskan hari tua dengan menanggung berbagai penyakit, termasuk demensia atau kepikunan. Meskipun demikian, ada juga yang senantiasa sehat hingga ajal menjemput.


Saat Nenek saya masih ada, beliau termasuk beruntung karena sehat hingga hari tua. Pada usia senja, beliau tetap dikelilingi orang-orang terkasih. Di kampung, Nenek setiap hari ditemani anak dan cucu yang menetap di sana. Setiap hari ada keluarga yang menjenguk dan memantau keadaannya.


Akan tetapi, apakah itu cukup?  Ternyata tidak.


Nenek sering merindukan anak dan cucu yang tinggal di luar kota. Beliau sangat terharu, bahkan sampai menangis, apabila ada sanak saudara dari jauh yang berkunjung. Kedatangan anak cucu yang rutin menjenguk merupakan kegembiraan bagi Nenek.


Hati yang gembira ternyata bukan hanya untuk orang sehat. Dulu saya sering membawa Ibu yang telah memiliki hipertensi, berobat jalan ke rumah sakit. Beliau sudah mulai menunjukkan gejala demensia atau kepikunan, serta perlu perawatan karena tidak mampu lagi mandiri.


Suatu hari saat selesai konsultasi, dokter memberi saran yang penting untuk diingat keluarga pasien.  Menurut dokter, obat-obatan bukan jaminan pasien cepat sembuh. Semangat, hati yang tenang, serta dukungan dari keluargalah yang membuat keadaan pasien menjadi lebih baik.


Saya pun mulai mengajak Ibu mengobrol banyak hal. Topik apa saja, yang penting beliau mau bercerita.  Tutur kata Ibu cukup menyentuh, sesuai dengan kondisinya. Terkadang ceritanya ada yang lurus selaras dengan fakta, tapi kemudian bisa membelok dari kenyataan.


Walaupun demikian, Ibu saya bersemangat jika ada yang mau mendengarkan ceritanya. Kalau ingin bertutur, biasanya beliau akan memanggil saya. Ternyata orang tua senang jika ada yang sering menemaninya. Jadi, bagi yang masih mempunyai kakek nenek atau orang tua lansia, yuk, berikan waktu untuk berkumpul dan bercengkerama dengan mereka.


Hati gembira dan dukungan dari keluarga membuat kesepian lansia langsung luntur. Jika terjadi sebaliknya, mereka merasa diabaikan bahkan dilupakan oleh anak cucu. Kesepian rentan mengakibatkan kesedihan, yang apabila berkepanjangan dapat menyebabkan depresi pada lansia.


Sumber : Canva


Kesedihan bisa menjadi pemicu awal dari depresi, tapi tidak semua kesedihan pasti berakhir dengan depresi. Kesedihan biasa umumnya berlangsung singkat, yaitu selama beberapa hari. Berbeda dengan depresi yang terjadi dalam jangka panjang, yakni lebih dari dua minggu.


Lantas, apa hubungan antara depresi dengan demensia?


Semakin tinggi usia individu menderita depresi berkepanjangan, semakin besar resiko terkena demensia atau kepikunan. Dilansir dari healthline.com, ada studi pada tahun 2020 yang menemukan hubungan antara usia dan demensia.


Jika orang-orang yang berusia antara 45 - 64 tahun  mengalami depresi berkepanjangan, maka resiko demensia pada usia lanjut akan lebih tinggi. Yang cukup mengkhawatirkan, pada usia tersebut lansia tidak mampu mencurahkan masalah atau unek-uneknya. Kesedihan dipendam seorang diri. Akibatnya keluarga tidak bisa mendeteksi depresi, hingga kondisi lansia semakin memburuk.


Walaupun sering terjadi pada umur senja, tapi yang berusia lebih muda bukan berarti aman terhadap resiko depresi.  


Sumber : Canva


Dari sumber yang sama, diketahui kalau orang yang menderita depresi pada usia 20 - 49 tahun tetap beresiko mengalami demensia. Jika depresi tidak ditangani dengan tepat dan berkepanjangan, maka kemungkinan akan terjadi penurunan kognitif pada penderita.  


Penurunan kognitif berdampak terhadap kemampuan otak untuk mengelola pengetahuan, pengalaman, serta informasi. Semakin bertambah usia, individu yang bersangkutan akan mulai bermasalah dalam pengambilan keputusan, hidup bergantung pada perawatan orang lain, dan menunjukkan gejala demensia.


Meskipun demikian, tidak semua depresi akan berakhir pada demensia. Ada yang pernah depresi, tapi kemudian tidak menderita demensia.  Sebaliknya, ada yang terkena demensia dulu, baru belakang hari mengalami depresi.


Walaupun belum akurat, sebaiknya tetaplah waspada dengan depresi.  Beberapa penelitian mengindikasikan tetap ada relasi antara depresi dan demensia.  


Dilansir dari frontiers.org, melalui penelitian berkesinambungan selama 14 tahun, ditemukan kemungkinan dampak depresi pada demensia.  Suatu penelitian yang melibatkan pria sehat berusia 71 - 89 tahun, sebanyak 18,3% responden telah menunjukkan gejala demensia.  Menariknya, mereka semua pernah mengalami depresi.


Dari healthlife.com juga diperoleh informasi tentang korelasi antara depresi dan demensia. Menurut penelitian tahun 2015, sekitar 40% dari penderita depresi beresiko mengalami demensia pada usia lanjut. Jadi, walaupun tidak semua depresi mengakibatkan demensia, tetaplah waspada menjaga kesehatan mental kita sejak muda.


Depresi dan Demensia pada Lansia 

Depresi sering diidentikkan dengan orang muda.  Berbagai masalah sosial seperti pekerjaan, keluarga, hingga hubungan pribadi kerap dianggap sebagai penyebab depresi. Mereka bingung menemukan solusi dari masalahnya dan cenderung menarik diri dari keramaian. 



Bukan hanya orang muda, warga lansia rentan terkena depresi. Kita mungkin berpikir kalau orang lanjut usia sudah lebih matang dan bijaksana menghadapi masalah hidup. Mereka lebih mampu dan berpengalaman mengatasi problematika. Warga senior lebih tangguh menerima goncangan hidup.


Padahal, mereka pun tetap beresiko mengalami depresi.  Adapun penyebab depresi pada lansia, adalah :


# Kesepian
Lansia yang berusia 65 tahun ke atas, umumnya sudah pensiun dan lebih sering tinggal di rumah. Anak-anak dan cucu sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing, bahkan jarang menjenguk orang tua atau kakek nenek.


Sendirian membuat mereka kesepian dan terasing.  Perasaan diabaikan dan sudah tidak bermanfaat lagi, bisa menimbulkan kesedihan berkepanjangan.  Kesedihan demikian yang berpotensi menimbulkan depresi.


# Trauma
Kehilangan orang terkasih karena tutup usia atau berpisah mampu menyebabkan trauma pada lansia.  Kesedihan atau kekecewaan menyebabkan individu yang bersangkutan menutup diri dan menyendiri. Mengisolasi dalam kesunyian merupakan salah satu ciri-ciri depresi.


# Sakit penyakit
Lansia yang terbaring sakit dan tergantung pada orang lain lebih rentan terkena depresi. Situasi ini disebabkan mereka sudah tidak bisa lagi beraktivitas normal. Merasa kehilangan harapan dan kontak dengan dunia luar, lansia berasumsi kalau mereka sudah tidak memiliki manfaat untuk masyarakat.


# Stres berkepanjangan
Stres yang tidak dikelola dengan baik berpotensi mengakibatkan depresi.  Masalah-masalah yang belum terselesaikan dapat menimbulkan kecemasan. Sulit tidur menyebabkan tingkat stres semakin tinggi menuju depresi.


Depresi pada lansia beresiko demensia pada masa mendatang Meskipun demikian, demensia tidak terjadi secara mendadak, tapi melalui tahap dan gejala tertentu. Kita patut waspada apabila ada tanda-tanda yang menunjukkan gejala demensia, seperti :


# Kesulitan mengingat
Mereka kesulitan mengingat jangka pendek, termasuk mudah tersesat di lokasi tempat tinggal, bingung di dalam rumah, hingga berulang kali bertanya tentang informasi yang sama. Mereka juga mulai melupakan nama-nama orang terdekat, bahkan anak sendiri.


Sumber : Canva


Berbeda dengan depresi yang walaupun kesulitan mengingat, tapi masih bisa dipulihkan dengan terapi. Setelah penanganan medis dan keadaan mental mulai sembuh, penderita depresi mampu kembali menyerap informasi secara normal.


Sementara orang dengan demensia terus mengalami penurunan kemampuan mengingat. Penderita akan melakukan aktivitas yang berulang karena lupa sudah menyelesaikan sebelumnya.  Mereka bahkan kesulitan mengingat hal-hal yang menjadi rutinitas.


Walaupun diterapi, kemampuan mengingatnya tidak akan kembali pulih. Dampak demensia pun tidak boleh dipandang sebelah mata. Situasi ini bukan hanya mempengaruhi kemampuan memori penderita, tapi juga kesehatan fisik mereka. Kesehatan fisik dan mental akan terus menurun hingga ajal menjemput.


# Menolak bersosialisasi
Penderita demensia enggan bergabung dengan kelompok yang dulu rutin dikunjunginya. Penyebabnya bukan karena dikucilkan, tapi mereka yang menarik diri dari lingkungan. Lansia dengan demensia lebih sering menyendiri. Mereka seperti memiliki dunia sendiri.


#Kesulitan berkomunikasi
Penderita demensia kesulitan memilih kalimat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Penderita juga tidak mampu menyampaikan ekspresi atau idenya kepada lawan bicara. Mereka lebih sering diam dan kelihatan bingung. 


# Tidak mampu mengambil keputusan
Mereka tergantung pada orang lain dalam setiap aspek keputusan. Ketidakmampuan menganalisis masalah, mengambil keputusan, serta beraktivitas, membuat mereka terpaksa menggantungkan hidup pada perawatan orang lain. Setiap saat harus ada keluarga atau perawat yang memantau keadaannya.



#Berperilaku agresif
Berbeda dengan karakter sehari-hari, penderita demensia lebih sensitif dan cenderung cepat tersinggung. Hal sederhana saja bisa memancing kegusarannya. Emosi menjadi kurang stabil dan mudah marah.


Keluarga yang tidak mengerti menganggap mereka sedang membuat konflik. Padahal, situasi tersebut mungkin gejala demensia yang patut diwaspadai.  Selain kesehatan fisik, kesehatan mental lansia juga sebaiknya rutin dipantau.


Deteksi awal merupakan upaya untuk mengetahui indikasi demensia pada lansia. Jika ditemukan gejalanya, bisa segera menghubungi paramedis untuk penanganan lebih lanjut.

Sampai sekarang demensia belum bisa disembuhkan.  Obat-obatan dari dokter hanya mampu mencegah komplikasi lebih lanjut pada pasien.  Namun harapan untuk kesembuhan para penderita tetap diupayakan. Penelitian untuk demensia masih terus berlanjut. Mudah-mudahan metode penyembuhan yang tepat segera ditemukan.


Mencegah Demensia 

Menurut data yang dirilis dari WHO Guideline, pada tahun 2015, demensia telah diderita sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Diprediksi jumlahnya akan meningkat pada tahun 2030 menjadi 82 juta. Tahun 2050 diperkirakan ada 152 juta penderita di seluruh dunia.


Lebih lanjut lagi menurut organisasi kesehatan dunia ini, demensia sudah menyasar usia di bawah 65 tahun.  Pada orang-orang berusia 40 -50 tahun, telah ditemukan 9% penderita demensia. Informasi ini bukan untuk menambah kekhawatiran, tapi bisa menjadi kewaspadaan bagi kita. 


Walaupun belum ada obat penawar, tapi demensia masih bisa dicegah.  Ada upaya yang mampu kita lakukan untuk menghalau demensia. Brain Loves Company, begitu menurut ahli demensia David Troxel. Otak manusia harus diajak aktif.  Berdiam diri tanpa aktivitas akan meningkatkan resiko terkena demensia.

 
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengaktifkan otak, yaitu :

  • Bersosialisasi
Hindari mengisolasi diri, tetaplah aktif bersosialisasi dengan teman atau kerabat. Sapa orang-orang terdekat dan mengobrol lah dengan mereka. Luangkan waktu untuk bertemu dengan rekan-rekan.


Sumber : Canva


Ikutilah komunitas di sekitar lingkungan. Walaupun bukan tipe orang yang suka ngobrol panjang lebar, minimal jadilah pendengar cerita.  Toh, selama bukan menggosipkan aib orang lain, acara kumpul bersama bisa menjadi ajang bertukar informasi.

  • Kelola stres untuk mengatasi depresi
Stres yang berkelanjutan dan tidak ditangani dengan baik akan memicu depresi. Kemudian depresi yang berulang dan jangka waktu lama beresiko demensia nanti pada usia lanjut.


Terkadang hidup memang nggak bisa ditebak.  Masalah bisa muncul kapan saja tanpa pemberitahuan.  Syukur kalau kuat mental, jika tidak bakalan jadi problem berkepanjangan. Kalau belum mampu mengelola stres, bantuan profesional mungkin bisa dijadikan solusi.

  • Olahraga dan Pola Hidup Sehat
Sakit penyakit menjadi salah satu faktor penyebab demensia. Kita kendalikanlah kadar kolesterol tinggi, diabetes, serta hipertensi karena dapat memicu stroke yang berpotensi menyebabkan demensia.


Stroke yang menyebabkan stroke dikenal dengan istilah demensia vaskuler. Pola hidup kurang sehat menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Aliran darah yang tersumbat mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah otak. 


Dalam jangka panjang, kerusakan tersebut mengakibatkan penderita mengalami gangguan perilaku. Hal ini mengakibatkan kesulitan berfokus dan kehilangan memori, yang merupakan gejala awal demensia.


Yuk, mulailah menjaga pola hidup sehat dengan rutin berolahraga, serta menjaga konsumsi makanan bergizi untuk tubuh lebih bugar.


Sumber : Canva

  • Aktif mengerjakan hobi.
Menjalankan hobi membuat suasana hati gembira dan menjauhkan kita dari stres.  Jika ada waktu luang, ayo kerjakan hobi yang lama tertunda. Selain untuk kesehatan, siapa tahu bisa menjadi ladang cuan.


Untuk yang hobi menulis, bolehlah membuat blog. Yuk, segera membuat tulisan yang menarik perhatian pembaca. Kalau punya ide tentang kesehatan mental, bisa diikutsertakan pada #DearSenjaBlogCompetition.  Sayang, kan, jika ide hanya sebatas inspirasi tanpa dibaca orang lain.

  • Temukan aktivitas baru
Menemukan kegiatan baru bisa menjadi solusi mencegah demensia. Otak diajak aktif untuk menganalisis dan mempelajari aktivitas baru.  Menggambar, berkebun, memasak, hingga mengisi TTS merupakan upaya tepat agar pikiran tetap aktif dan awet.


Kegiatan baru juga membuat waktu menjadi tidak lagi membosankan.  Ada tantangan untuk keseruan lain. Hidup menjadi lebih berwarna karena kita telah menemukan passion teranyar yang memikat.


Cegah Depresi untuk Kesehatan Mental di  Masa Depan

Bagi yang masih memiliki orang tua atau kakek nenek yang sudah berusia lanjut, yuk, jadwalkan pertemuan dengan mereka. Jika memungkinkan, rutinlah mengunjungi. Kalau jarak menjadi penghalang,  usahakanlah menyediakan waktu berkomunikasi melalui telepon.  


Dari pengalaman saya bersama Nenek dan Ibu dulu, mereka gembira apabila ada yang mau mendengarkan ceritanya. Saya senang saja mendengar beragam kisah-kisah dari mereka. Umumnya, cerita tersebut berisi narasi tentang riwayat masa muda dulu. Kisahnya unik,original, dan tidak tertulis di media lain.


Khusus dengan Nenek, berkomunikasi dengan beliau bukan tanpa hambatan. Nenek tidak bisa berbahasa Indonesia, sementara saya tidak lancar bertutur daerah.  Kalau mau ngobrol sama Nenek harus ada penterjemah.  Kami seperti mengobrol dengan orang dari luar negeri.  Seru walau agak repot.


Nah, untuk kesehatan mental kita sendiri, ayo mulai menjaga kebugaran fisik dan keaktifan otak. Dengan upaya demikian, demensia bisa menyingkir dan kita tidak menjadi beban keluarga atau masyarakat. Jika diberi rezeki umur panjang, kita tetap bisa berkumpul dan bercengkerama dengan anak cucu dalam kondisi sehat.  

Sumber : Canva


Masa depan sulit diprediksikan dengan tepat. Demikian juga dengan kesehatan, termasuk demensia. Tidak ada yang menjamin seseorang  bebas 100% dari demensia. Kepastian cuma milik Yang Kuasa.


Namun, jika sudah mengetahui informasi tentang demensia, tidak ada salahnya jika kita berusaha mengatasi resiko. Berupaya lebih baik dari sekedar menunggu nasib. Tetap menjaga kesehatan fisik dan mental merupakan cara terbaik untuk mencegah demensia.


Ayo, rutin menjaga kebugaran tubuh dan otak untuk kesehatan masa depan.



Referensi :

  • Understanding the Link Between Dementia and Depression

  • WHO Guidelines, Risk Reduction of Cognitive Decline and Dementia,  

  • Perspective on The Complex Links Between Depression and Dementia

  • Gambar diedit oleh Canva

Maksimalkan Manfaat Gaming untuk Lansia Bersama ROG Phone 8

    "Wah, Nenek masih mahir ikut gaming."     Kalimat ini akan terucap dari seorang cucu yang menyaksikan Neneknya mahir mengutak-...